TUGAS RESUME DAN KRITIK BUKU
Diajukan Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Menempuh UAS
Judul : PARTAI POLITIK ISLAM
TEORI DAN PRAKTIK
Pengarang : Ridho Al-Hamdi
Penerbit
: GRAHA ILMU
Tahun
: 2013
Nama : Indra Sutianto
Nim : 113090117
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara
Dosen
Pengajar : Dr. H. Nurudin Siraj, MA, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
Politik
adalah dimensi praktis dan menyejarah yang terkait dengan kekuasaan dan
kepartaian (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 1)
Nabi
Muhamad SAW tidak pernah memberikan warisan tentang mekanisme pemilihan seorang
pemimpin (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 2)
Islam
dan perjuangan politik Indonesia sudah menjadi satu kesatuan (entitas) yang
tidak dapat di pisahkan (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 3)
Berbicara
tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia berarti berbicara juga tentang
perjuangan Islam (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 3)
Dinamika
Islam dan Politik tidak lepas dari wilayah perebutan kekuasaan, konflik dan
perpecahan di antara umat Islam serta tidak siapnya kelompok Islam menjadi
kekuatan oposisi penguasa (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 3)
Doktrin
untuk patuh pada penguasa menjadikan corak dan gaya partai-partai Islam di
Indonesia (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 3)
Romli
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 5-6) ada beberapa alasan mengapa partai politik
di perlukan di Indonesia:
1. Faktor
teologis
2. Faktor
sosiologis
3. Faktor
historis
Menurut
Cak Nur, harus ada pemisah antara urusan agama dan urusan Politik. Agama tidak
boleh dibawa-bawa urusan praktis yang ujung-ujungnya hanya akan membawa konflik
antar umat islam. Sedangkan urusan politik diserahkan pada partai politik yang
cenderung menggunakan simbol nasianalis atau moderat tanpa harus mencantumkan
simbol-simbol Islam. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 5)
Kemunculan
dan keberadaan partai Islam di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan dari
sejarah politik itu sendiri (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 6)
Besarnya
jumlah umat umat Islam tersebut tidak serta merta seragam satu pemikiran.
Sebaliknya, justru jumlah yang banyak itu lah yang menyebabkan heterogenitas di
kalangan umat islam. Hal ini di sebabkan beberapa faktor perbedaan budaya,
pendidikan agama, konteks, sosial politik serta realitas yang di hadapi oleh
mereka di masing-masih daerah (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 6)
Ware
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 7) menawarkan karakteristik partai politik
sebagai berikut. Pertama, tujuan
partai politik adalah menghantarkan negara kepada tujuan akhirnya untuk
kesejahteraan rakyat daripada sekedar merebut kekuasaan. Kedua, partai politik dapat dijadikan sebuah strategi untuk meraih
tujuan utama meraih kekuasaan dari sebuah enzim untuk membentuk suatu
pemerintahan. Ketiga ada sekelompok organisasi politik yang mengklaimdiri
mereka sebagai partai politik dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai
poltik seperti pemilu. Tujuan partai politik ini hanya sekedar penggembira
dalam aktivitas-aktivitas politik.
Ware
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 7) partai politik sebagai pengelempokan
masyarakat berdasarkan kesamaan keyakinaan, sikap, dan nilai-nilai yang di
anut.
Ware
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 7) partai politik merupakan sebuah lembaga yang
mempengaruhi negara dengan cara menguasai jabatan-jabatan strategis dalam
pemerintahan.
Budiarjo
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 7) partai politik adalah sebuah kelompok yang
terorganisir di mana anggota-anggotanya memiliki orientasi,nilai-nilai serta
cita-cita yang sama.
Pamungkas
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 7) partai politik sebagai organisasi yang
memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu melalui penguasaan struktur dan
kekuasaan yang di peroleh melalui keikutsertaan dalam kontestasi pemilu.
Partai
politik adalah organisasi yang bekerja pada prinsip-prinsip tertentuseperti
adanya kepemimpinan dan keanggotaan, pembagian divisi dalam kerja, melakukan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kontrol serta adanya aturan main
yang mengatur perilaku pimpinan, anggota, anggota dan organisainya. (Ridho
Al-Hamdi, 2013 : 8)
Partai
politik adalah adalah alat perjuangan nilai atau ideologi. Sebagai alat perjuangan
menuju cita-cita yang luhur, partai harus meyakini sebuah nilai yang di yakini
dan di jadikan sistem kepartaiannya. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 8)
Instrumen
meraih kekuasaan adalah melalui pemilu bukan yang lainnya. Di luar pemilu,
tidak ada pengakuan legal dalam meraih kekuasaan dalam sistem kenegaraan.
(Ridho Al-Hamdi, 2013 : 8)
Firmanzah
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 8) partai politik adalah organi publik yang
bertujuan untuk membentuk opini masyarakat dan membawa pemimpinnya berkuasa dan
memungkinkan para pendukungnya mendapatkan keuntungan dari dukungannya
tersebut.
Partai
politik adalah organisasi yang memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu
sehingga mereka memiliki kepentingan yang harus diperjuangka melalui penguasaan
struktur dan kekuasaan dalam pemerintahannya. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 8)
Untuk
mendapatkan kekuasaan tersebut, partai politik harus berkontestasi dalam arena
demokrasi yang bernama pemilu. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 8)
Kukasaan
bukanlah akhir melaikan alat yang di jadikan media untuk mewujudkan kepentingan
rakyat, yaitu rasa aman dan nyaman, adil, dan sejahtera. (Ridho Al-Hamdi, 2013
: 8)
Partai
politik memiliki empat karakteristik: (1) Organisasi yang berjangka panjang;
(2) Memiliki struktur organisasi yang berjenjang dan adanya pembagian divisi di
setiap masing-masing level;(3) Memiliki orientasi kekuasaan sebagai alat untnk
mengimplementasikan kepentingan rakyat; (4) meraih dukungan suara sebanyak
mungkin agar partai dapat di terima oleh
masyarakat luas. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 8)
Proses
mendapatkan kekuasaan itu di peroleh melalui keikutsertaan dalam pemilu serta
melakukan kampanye dengan menjual isu dan program-program yang tidak lepas dari
nilai-nilao ideologis Islam. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 9)
Partai
Islam sebagai ideologi organisasi yaitu merujuk kepada partai politik yng
menjadikan Islam sebagai dasar ideologinya. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 9)
Prinsip
adalah sesuatu hal yang harus di pegang teguh dan di jadikan pijakan oleh
partai islam yang mendasari segala aktivitas keorganisasian. (Ridho Al-Hamdi,
2013 : 9)
Partai
Islam harus mendasarkan seluruh program kegiatan organisasinya pada prinsip
berikut ini :
1. Berpedoman
pada nilai-nilai universal Al-Quran dan As-Sunnah.
2. Musyawarah
dalam mengambil keputusan.
3. Berlaku
adil.
4. Menghargai
perbedaan. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 9-10)
Tujuan
utama partai Islam: (1) Masyarakat yang adil; (2) Masyarakat yang mkamur dan
sejahtera; (3) Masyarakat yang aman dan
nyaman. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 10-11)
Almond (dalam
Ridho Al-Hamdi, 2013 : 8), tipologi partai politik dapat di bagi berdasarkan
basis sosialnya. Pertama, partai
politik yang beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, seperti
kelas atas, menengah, dan bawah. Kedua,
partai politik anggotanya berasal dari kalangan kelompok kepentingan tertentu,
seperti petani, buruh, dan pengusaha. Ketiga,
partai politik anggota-anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu, seperti
Islam, Katolik, Propesten, dan Hindu. Keempat,
partai politik anggota-anggotanya berasal dari kelompok budaya tertentu,
seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah tertentu.
Partai
berdasarkan komposisi keanggotaan dapat di bagi menhadi dua pula, partai massa
dan partai kader. Partai massa adalah
partai yang mengandalkan suara dengan cara memobilisasi massa untuk memilih
partainya sehingga dapat memenangkan dalam setiap pemilu. Partai kader adalah partai yang mengandalkankualitas anggota,
ketaatan organisasi dan displin anggota sebagai sebagai sumber kekuatan utama.
(Ridho Al-Hamdi, 2013 : 13-14)
Geertz (dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 14) umat islam
di bagi menjadi tiga kelompok. Pertama,
KELOMPOK ABANGAN, merupakan kelompok Muslim yang banyak mengadopsi nilai-nilai
tradisi dan budaya animisme dan dinamisme dalam kehidupan keagamaannya. Kedua, SANTRI, merupakan kelompok Muslim
yang memusatkan perhatiannya pada ibadah ritual serta mempraktikan kehidupan
agama Islam berdasarkan ajaran yang bersumber kepada Al-Qur’an dan as-sunnah
dan kitab-kitab fikih yang shahih. Ketiga,
PRIYAYI, merupakan kelompok Muslim yang berasal dari aristrokat dan dalam
kehidupan keagamaannya banyak diwarnai oleh nilai-nilai etika keangsawanan jawa
(budaya adiluhung).
Partai Islam
tradisionalis dapat di pahami sebagai partai Islam yang memiliki basis pemilih
dan pendukung dari kalangan Muslim yang berpegang teguh pada tradisi Islam yang
kuat terutama pada masyarakat pedesaan termasuk pedalaman. (Ridho Al-Hamdi,
2013 : 17)
Partai
politik Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama,memiliki kesamaan identitas “islam tradisional” antara
elite dan basis pendukung. Kedua, basis
pendukung utama berasal dari kawasan pedesaan dan pedalaman (meskipun di
perkotaan tetep ada). Ketiga, asas
partai cenderung islam. Meskipun ada yang menggunakan Pancasila sebagai
asasnya, hakekatnya setiap gerakan dan doktrinnya berdasar pada ajaran-ajaran
Islam. Keempat, khusus PKB , partai
ini tidak hanya sekedar partai tradisioanalis an sich, tetapi jauh dari itu, PKB dapat dikelompokan sebagai
partai post-tradisionalis dengan asasnya Pancasila. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 17)
Kurang dari
40 juta masyarakat Muslim Indonesia mengaku sebagai warga NU. Sementara survei
yang lain mengindikasikan bahwa ada 80 juata warga Muslim Indonesia yang
mengaku sebagai kelompok tradisionis. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 17)
Fillard
(dalam Ridho Al-Hamdi, 2013 : 18) secara historis kelahiran NU merupakan upaya
artikulasi publik dan politik dari paham Islam tradisionalis, serta status
sosial kaum ulama.
Partai islam
modernis adalah partai politik yang merujuk kepada masyarakat Muslim yang sudah
maju dan biasanya berada di perkotaan. . (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 18)
Partai Islam
modernis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, basis pemilihnya adalah kelompok muslim terdidik
(setidaknya pernah mengenyam pendidikan universitas). Kedua, secara geofrafis basis pemilih utamanya berada di perkotaan
dan sub-urban (walaupun tidak menutup kemungkinanbanyak juga di pedesaan dan
pedalaman). Ketiga,asas partai
cenderung nasionalis (pancasila) dan tidak menggunakan simbol dan atribut Islam
pada setiap aksinya. Keempat, isu
yang di usung ke publik adalah persoalan-persoalan sosial. Kelima, secara kultural partai-partai yang masuk dalam kategori ini
dekat dengan ormas Islam. (Ridho Al-Hamdi, 2013 : 19)
Cara
spesifik, partai islam modernis dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok
lagi. Pertama, partai islam
neo-modernis : partai yang mengusum isu-isu HAM, plurlisme dan jender serta
cenderung anti Negara islam. Kelomok ini dapat juga dikatakan sebagai partai
islam repormis. PAN dapat dikategorikan da;am kelompok ini kedua, partai islam akomodanionis : idiologi partai sering tidak digunakan
sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan, cenderung berpola piker
pada keuntungan, tidak ingin berseteru dengan pemerintah lebih suka pada model
kerjasama daripada perlawanaan serta berorientasi pada kepentingan “kekuasaan”
semata tanpa memperjuangkan basis kontituen. ( Rido Al-Hamdi: 2013 , 19).
Partai
islamis memiliki ciri – ciri sebagai berikut : pertama, memiliki basis
konstituen dari kelopok islam militant dan idilogis. Kedua, sebagai latar belakang pendidikan elitnya dari
timur tengah dan sebagaian yang lain adalah mantan aktifis daqwah kampus ketika
menjadi mahasiswa. Ketiga baik
elit dan pendukungnya adalah kempok anak muda dan secara geografis berada di
perkotaan. Keempat, asas dalam kelompok ini adalah islam yang cenderung
selalu mengajarkan apa yang tekstual dalam al-quran dan as-sunnah. Kelima partai-partai yang termasuk kelompok ini
cenderung lebih dekat kegerakan tarbiyah, majelis mujahidin, hizbut tahir, FPI,
NU garis keras, persis, perti dan sejumlah organisasi islam radikal lainnya (
Rido Al-Hamdi: 2013 , 20).
Sebenarnya,
gerakan kelompok islamis sudah ada sejak era orde lama seperti pada masyumi,
parmusi PSII perti PPTI dan PPP. Hanya saja, nuansa perjuangan islam yang
ideologis dan sikap antagonis terhadap pemerintah tidak serta mereka – mereka
tunjukan disetiap perjuangan mereka ( Rido Al-Hamdi: 2013 , 21).
Para
pencetus gerakan tarbiyah ini pada awalnya lahir dari latar belakang islam
tradisionalis maupun modernis hanya saja mereka tidak puas dengan sikap kedua
organisasi tersebut (NU dan Muhamadiya) sehinga berusaha mencari alternative
pemikiran dari luar Indonesia. ( Rido Al-Hamdi: 2013 , 21).
Kempok
baru ini tergolong sangat kritis terhadap hegemoni barat dan menaruh perhatian
serius terhadap isu-isu internasional yang melibatkan umat islam dibelahan bumi
lain. ( Rido Al-Hamdi: 2013 , 21).
Gerakan
tarbiyah pada intinya menyempurnakan model gerakan islam yang selama ini telah
dipraktekan di Indonesia, yaitu menggabungkan gaya purifikasi dan gaya
akomodasi sehingga disebut sebagai reislamisasi ala gerakan tarbiyah (Rido
Al-Hamdi: 2013 , 21).
Secara
programis, aspirasi politik Jamaah Tarbiyah terangkum dalam berbagai model yang
beragam sebagaiman di jelaskan berikut ini:
1. MOODEL
KEGIATAN – Gerakan Tarbiyah menggunakan kegiatan-kegiatan yang berkesinambungan
sebagai bentuk penanaman ideologi mereka. Setidaknya ada lima model yang mereka
lakukan : Liqo, Daurah, Rihlah, Mabit, Seminar, dan Bedah Buku.
2. BENTUK-BENTUK
KELEMBAGAAN – selain proses ideologisasi sebagai bentuk penanaman nilai-nilai
keislaman, Gerakan Trbiyah juga melekukan sosialisasi iseologinya melalui
berbagai bentuk kelembagaan resmi yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten.
Seperti munculnya Lembaga Bimbingan Belajar Nurul Fikri, terbitnya Majalah
Sabili.
3. PENGUASAAN
LEMBAGA KEMAHASISWAAN – hampir di seluruh kampus negeri di Indonesia, kekuatan
politik mahasiswa di kuasai oleh jaringan aktivis dakwah kampus.
4. LAHIRNYA
KAMMI – forum tersebut menyepakati di betuknya wadah yang dapat
mengkoordinasikan dan menyatukan berbagai LDK di tanah air yang
mengkonsetrasikan pada agenda politik. (Rido Al-Hamdi: 2013 , 22-23).
Partai
Islam di Indonesia memiliki kecenderungan ke arah tiga mainstream tipologi,
yaitu partai tradisionalis, partai modernis, dan partai islamis. (Rido
Al-Hamdi: 2013 , 23).
Kelompok
tradisionalis di kuasai oleh partai-partai yang berbasis sosial yang sama,
yaitu NU. (Rido Al-Hamdi: 2013 , 23).
Secara
ideologis, kelompok tradisionalis terbagi tiga. Pertama, kelompok berasas Pancasila, yaitu PKB dan SUNI. Kedua, kelompok berasas Islam, yaitu
Partai NU, PKNU, PPNUI. Ketiga, kelompok
yang berasas gabungan antara Pancasila dan aqidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah,
yaitu Partai Nahdhatul Ummah dan PKU. Meskipun berbeda ideologi, basis sosial
dan pola gerakan partai-partai tersebut relatif cenderung sama dan sulit di
bedakan satu sama lain. (Rido Al-Hamdi: 2013 , 24).
Kelompok
modernis sebenarnya tidak hanya memiliki basis sosial dari kalangan
Muhamadiyah. Karena pada dasarnya, partai yang mengklaim memiliki basis sosial
dari Muhamadiyah hanya PAN dan PMB. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,21).
Asas
Masyumi sebenarnya Islam. Tetapi dalam konteks ini dimasukan sebagai partai
Modernis. Secara historis meskipun Masyumi pada awalnya merupakan satu-satunya
representasi partai Islam dan di dukung kuat oleh seluruh elemen Islam seperti
Muhamadiyah, NU, Persis. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,24).
Partai-partai
islamis di era Reformasi tak begitu gencar dalm memperjuangkan gagasan syariat
Islam (Negara Islam) seperti di perjuangkan oleh partai-partai Islam di era
Orde Lama dan Orde Baru. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,24).
Partai
Islam banyak lahir ke permukaan di era Reformasi, terutama pada Pemilu 1999. (Rido
Al-Hamdi: 2013 ,24).
Rahman
(dalam Rido Al-Hamdi: 2013 , 26).Sistem Politik adalah keseluruhan dari
interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara otoratif
(berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat.
Di
Indonesia, meskipun telah di tetapkan negara sekunder dan memilih Pancasila
sebagai landasan ideologi negara, sebagian kelompok Islam tetap memperjuangkan
gagasan negara Islam yang di anggap lebih tepat sebagai asas negara
dibandingakan Pancasila yang tidak jelas orientasinya. (Rido Al-Hamdi: 2013
,27).
Sepanjang
sejarah Islam, perdebatan tentang negara setidaknya terbagi, menjadi tiga arus
utama: (1) Bentuk Khalifah islamiyah atau negara Islam (2) Negara Sekunder (3)
“Negara Islam” substantivistik. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,27).
Islam
adalah agama yang sempurna dan telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
termasuk politik. Karena itu agama dan negara tidak dapat di pisahkan. Justru,
Agama harus di jadikan sebagai landasan
untuk menyelamatkan sebuah negara. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,27).
Iqbal
dan Nasution (dalam Rido Al-Hamdi: 2013 ,27). Negara Islam harus ada sebagai
pengganti era kenabian dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan di
dunia.
Menciptakan
dan memelihara kemaslahatan adalah sebuah kewajiban. Alat untuk mewujudkan
kemaslahatan itu adalah negara. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,27).
Menurut
Al-Banna, setidaknya ada tiga prinsip yang harus di pegang dalam sebuah negara
Islam. Pertama,penguasa harus
bertanggung jawab kepada Allah SWT dan rakyat. Penguasa bahkan di anggap
sebagai abdi rakyat. Kedua, bangsa-bangsa
muslim harus bersatu, karena persaudaraan Muslim merupakan prinsip iman. Ketiga, bangsa-bangsa Muslim berhak
memonitor tindakan penguasa, menasehati penguasa, dan mengupayakan agar
kehendak bisa di hormati. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,28).
Negara
Islam harus berupaya melakukan beberapa hal: (1) menyediakan lapangan pekerjaan
bagi umatnya dalam berbagai bentuk seperti bidang industri maupun pertanian.
Para pekerja pun harus harus mendapatkan
hak gaji yang memadai dan asuransi kesehatan; (2) negara Islam harus mengurangi
jurang antara si kaya dan si miskin; (3)penguasa harus bertindak tegas terhadap
siapa saja yang mencari nafkah dengan cara maksiat. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,28).
Menurut
Al-Maududi, negara Islam adalah negara yang mempunyai sistem tersendiri yang
berbeda dengan negara sekuler, baik menyangkut sifat, karakteristik maupun
tujuannya. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,28).
Islam
adalah antitesis demokrasi Barat, karena landasan demokrasi Barat adalah
kedaulatan rakyat sehingga dalam penentuan nilai-nilai perilaku sepenuhnya
berada di tangan rakyat. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,28-29).
Iqbal
dan Nasution (dalam Rido Al-Hamdi: 2013 ,29). Negara Islam memiliki tujuan
sebagai berikut. Pertama, menghapus
adanya ekpolitasi antar-manusia maupun antar-kelas. Kedua, memelihara kebebasan warga negara dan melindungi dari invasi
negara asing. Ketiga, menegakan
keadilan sosial. Keempat, mendorong
setiap kebajikan dan memberantas kejahatan. Kelima,
mengayomi seluruh umat tanpa adanya diskriminasi.
Iqbal
dan Nasution (dalam Rido Al-Hamdi: 2013 ,29). Menurut Sayyid Quthb bentuk
pemerintah yang ideal adalah suatu negara yang berdasarkan kedaulatan hukum
ilahi. Sistem pemerintahan di dunia harus berdasarkan penghambaan diri kepada
tuhan saja.
Hamid
(dalam Rido Al-Hamdi: 2013 ,29). Ada empat karakteristik sebuah negara islam. Petama, negara Islam adalah negara
tauhid yang bebas. Selama ke adilan diloyalitaskan kepada Allah, maka hasilnya
adalah penyatuan loyalitas tersebut akan membebaskan manusia. Kedua, negara Islam adalah negara yang
di peruntukan bagi manusia. Negara tidak memiliki sesorang atau sekelompok
orang, akan tetapi untuk semua penghuni alam semesta yang ada di dalamnya. Ketiga, negara Islam adalah negara undang-undang.
Karena itu penguasa maupun rakyatnya harusbberkhidmat kepada syariat yang telah
di tetapkan. Keempat, negara Islam
bukanlah negara treokrasi tapi negara yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan
yang universal.
Iqbal
dan Nasution (dalam Rido Al-Hamdi:2013,30)Islam tidak menggariskan aturan
politik yang baku dan nabi Muhamad SAW tidak di utus untuk mendirikan negara.
Untuk kemajuan umat Islam harus meniru kebudayaan yang telah maju, dan itu
adalah Barat. Karena itu Islam tidak boleh ragu-ragu untuk mengadopsi peradaban
Barat, termasuk politik, ke seluruh aspek kehidupan.
Iqbal
dan Nasution (dalam Rido Al-Hamdi: 2013 ,31). Islam hanya memberikan
seperangkat nilai-nilai politik yang harus diterapkan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang di hadapi umatnya. Karena itu, umat Islam dapat mengadopsi politik
Barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pemikiran
negara Islam substantivistik inilah yang cenderung digunakan dan telah
diberlakukan di Indonesia. Pancasila yang telah menjadi asas negara secara
universal bertentangan dengan Islam, bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila sebenarnya adalah nilai-nilai utama yang juga terkandung dalam
pemikiran-pemikiran mendasar di agama Islam. Karena itu, pilihan moderat inilah
pilihan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia dan tetap di pegang teguh agar
konflik di Indonesia dapat di redam sehingga perdamaian dan kesejahteraan
rakyat dapat terwujud dengan sebenar-benarnya. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,31).
Negara
Islam menurut kelompok negara Islam substantivistik ini adalah negara yang
meneraokan nilai-nilai Islam secara substantif tanpa harus menggunakan simbol
keagamaan. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,31).
Secara
legal-formal, bentuk negara dan aturan yang ada di dalamnya tidak pernah
dijelaskan secara terperinci baik dalm Al-Qur’an maupun As-Sunnah sebagi sumber
ajaran utama Islam. Oleh karena itu, tidak ada perintah kewajiban bagi umat
manusia untuk mendirikan negara Islam. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,31).
Seorang
kepala negara memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas.
Rakyat wajib mematuhi kepala negara. Biasanya, mereka mencari dasar legitimasi
keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Alasan
mereka menekan ketaatan terhadap kepala negara adalah untuk menjaga stabilitas
politik umat islam itu sendiri, sehingga negara benar-benar aman dan penegak syariat
Islam terlaksana dengan baik. (Rido Al-Hamdi: 2013 ,38).
Ricklefs,
Noer, Amir (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 45) Partai politik islam yang
didirikan pertama kali oleh umat islam di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI)
pada tanggal 11 November 1912 do Solo. Partai ini lahir dari sebuah organisasi
dagang yang bernama SDI yang dicetuskan pada tahun 1905 di kota yang sama oleh
Haji Samanhudi (1868-1956), seorang pedagang batik sukses di Surakarta.
Kelahiran SI disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, keinginan untuk melindungi
diri dari persaingan yang semakin keras di bidang perdagangan batik terutama
dalam menghadapi kelompok Cina serta sikap superioritas mereka terhadap orang
Indonesia karena keberhasilan Revolusi Cina tahun 1911. Kedua, membentengi masyarakat
Indonesia yang ada di Solo dari tekanan kaum bangsawan mereka sendiri dan
kelompok Cina. Ketiga, sebagai instrument umat Islam untuk membendung politik
pengristenan pemerintah Belanda dan kegiatan misionaris. Tiga hal di atas pula
yang pada akhirnya memberikan posisi kuat SI di hadapan para pedagang Cina
maupun pemerintah colonial Belanda saat itu.
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 45) Secara hitoris, perkembangan SI dapat terbagi
ke dalam empat fase. Fase pertama (1911-1916) merupakan fase pembentukan
karakter dan corak partai pada SI. Fase kedua (1916-1921) merupakan fase
kejayaan bagi SI. Fase ketiga (1921-1927) merupakan fase konsolidasi SI yang
harus bersaing keras dengan kelompok komunis dan harus menghadapi tekanan dari
pemerintah Belanda. Fase keempat (1927-1942) merupakan fase pertahanan diri di
tengah perpolitikan nasional (noer, 1985: 114-115).
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 59) Kongres pertama di Surabaya pada bulan
Januari 1913 diputuskan tentang pembagian wilayah organisasi ke dalam tiga
bagian. Pertama, Jawa Barat yang meliputi Jawa Barat, Sumatera, dan pulau-pulau
di sekitar Sumatra. Kedua, Jawa Tengah yang meliputi Jawa Tengah dan
Kalimantan. Ketiga, Jawa Timur yang meliputi Jawa Timur, Sulawesi, Bali,
Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau lain di Indonesia bagian Timur. Ketiga wilayah ini di bawah pengawasan
pengurus pusat di Solo yang diketaui oleh samudra sendiri.
Pada
fase ini program-program SI memang tidak begitu jelas. Hanya saja, arahan
–arahan kebijakannya mengarah pada minat perdangan, persaudaran sesame Islam,
kemajuan, dan agama. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 47)
Meskipun
banyak pihak yang mengatakan bahwa SI merupakan gerakan keagamaan, tetapi Moes
menyakinkan bahwa SI merupakan gerakan nasionalis Islam yang bertujuan untuk melakukan
politik perlawanan terhadap penjajah yang berupaya melakukan kristenisasi di
berbagai bidang kehidupan. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 47)
Amir
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 48) SI gagal mempertahankan posisinya sebagai
pemain kunci dalam pergerakan nasional. Hal ini disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, konflik internal di kalangan elite partai. Kedua, memudarnya
kepercayaan kelompok Islam terhadap SI seperti dari Muhammadiyah dan Al-irsyad
mewakili kelompok modernis, kalangan tradisionalis serta konflik yang
sebenarnya tidak fundamental dengan Persis tetapi semaik menambah daftar
kelompok Islam yang menjauhi SI. Ketiga, munculnya pergerakan kebangsaaan yang
berdeologi nasionalis dan komunitas yang sempat masuk ke tubuh SI melalui
Semauan dan Darsono (amir, 2003 : 28-30).
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 49) Padat tanggal 28 november 1936, Salim
membentuk fraksi sendiri di internal partai yang disebut dengan Barisan
Penyadar PSII dengan tujuan agar gagasa-gagasannya dapat diterima oleh partai.
Amir
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 450) Ada dua hal penting selama masa pemerintahan
Jepang di Indonesia. Pertama, munculnya ide bahwa partai politik merupakan alat
pemerintah untuk menyebarakan ide-ide pemerintah ke masyarakat. Kedua, ide
untuk menyisipakn suuperioritas militer di atas kaum birokrat sipil. Hanya
partai yang bersedia menjalankan program-program pemerintah saja yang bias
berdiri dan beraktivitas. Kebijaksanaan yang juga cukup penting adalah meminta
partai untuk menggalang massa dengan cara ikut melatih massa dalam kemiliteran
(Amir, 2003:33)
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 50)Partai Muslim Indonesia (PMI atau Permi)
merupakan partai politik yang didirakan pada tahun 1930 dan berpusat di
Minangkabau. Ruang gerak partai ini adalah di bidang pendidikan.
Ma’ruf
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 51) Partai Islam Inodesia (PII) lahir atas dasar
kekecewaan sejumlah kader SI seperti Sukiman dan kawan-kawannya yang diskors
oleh partai pada tahun 1933. Akhirnya,
Sukiman dan kelompoknya mendirikan Partai Islam Indonesia (Partii) yang
bekerjasama dengan PSII Merdeka di Yogyakarta. PSII Mereka adalah nama fraksi
yang memutuskan hubungan dengan SI Pusat.
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 52) PII Menginginkan Negara kesatuan yang
dilengkapi oleh pemerintahan yang demokratis dengan adanya parlemen dan lembaga
perwakilan lainnya serta berdasarkan pemilu yang umum dan langsung. Selain itu,
PII menginginkan adanya perluasan hak-hak politik serta kebebasan berpikir dan
kemerdekaan pers. Di bidang agama, PII menuntut penghapusan aturan yang
menghambat perluasan Islam dan penghapusan subsidi untuk semua agama. Di bidang
ekonomi, PII menuntut penyerahan perusahaan-perusahaan penting kepada Negara,
dihapusnya imigrasi, penghapusansegala bentuk pajak yang memberatkan rakyat
serta perlindungan perusahaan-perusahaan tanah air dari tekanan perusahaan
asing. Satu hal lagi yang patut dicatat, bahwa PII menolak terhadap milisis
paksaan di tengah-tengah tidak adanya kemakmuran dan kurangnya hak-hak politik
rakyat (noer, 1985 : 178).
Perjuangan
partai-partai tersebut adalah spirit nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah bentuk perlawanan mereka terhadap
Pemerintah Belanda bahkan mereka berani menyatakan tuntutan-tuntutan dan
hak-hak kaum pribumi meskipun mereka harus merelakan diri untuk dipenjara dan
diasingkan di daerah terpencil. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 52)
Pasca
merdeka, sejarah politik kepartaian di Indonesia diawali pada tanggal 30
Oktober 1945, yakni ketika BP KNIP yang berfungsi sebagai parlemen sementara
sebelum diadakanya pemilu. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 55)
Noer,
Romli, http://wikipedia.org.id
(Ridho Al-Hamdi : 2013, 55) majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) resmi
menjadi partai politik dengan asas Islam pada tanggal 7 November 1945 melalui
sebuah Kongres Umat Islam di Yogyakarta.
Menurut
Romli (2006:37), keluarnya NU dari Masyumi tidak sekadar persoalan rebutan
kekuatan semata, bahwa jatah Mentri Agama yang seharusnya jadi pos NU malah
diberikan pada Fakih Usman dari Muhammadiyah atau tidak sekedar peran Majelis
Syuro yang hanya menjadi badan penasehat. Hal yang sangat mendasar atas
keluarnya NU dari MAsyumi adalah perbedaan kultur politik diantara keduanya di
mana NU cenderung konservatif, sedangkan Masyumi cenderung modernis yang dekat
dengan Muhammadiyah.
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 57) Partai Nahdhatul “ Ulama (Partai NU) lahir
atas kekecewaannya terhadap Partai Masyumi. Disebabkan terjadinya perubahan
sikap MAsyumi yang awalnya menghormati dan memberikan arti penting pada ulama,
berubah menjadi tidak menghormati ulama lagi.
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 57) NU yang awalnya merupakan organisasi
sosial-keagamaan dengan basis massa di kalangan Muslim pedesaan berubah menjadi
partai politik sejak tahun 1952. Partai ini berasas Islam dengan tujuan
menegakkan syariat Islam, dengan berhaluan pada salah satu empat madzhab dalam
Islam serta melaksanakan berlakuknya hukum-hukum Islam dalam masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nilai-nilai asas Negara.
Romli
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 57) Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sering
membangkang diri karena dianggap sebagai partai tertua di Indonesia. PSII
merupakan metamorfosa dari organisasi bisnis bernama SDI tahun 1905 oleh KH. SAmanhoedi
dan berubah menjadi SI pada tahun 1912.
Noer
(Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 58)Tujuan PSII adalah membangun persatuan yang
tersusun rapat di kalangan umat Islam yang teratur dengan mencukupi
perintah-perintah Allah dan Rasulullah SAW dalam bidang kehidupan,
pencahariaan, dan pergaulan.
Noer,
Romli, http://wikipedia.org.id (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 58) Partai
Persatuan Terbiyah Islam (Partai Perti) adalah partai politik yang pada awalnya
berasal dari sebuah organisasi massa Islam nasional yang berbasis di Sumatra
Barat, yaitu Persatuan Terbiyah Islaminyah (Perti). Organisasi Perti berakar
dari para ulama ahlussunnah wal jamaah di Bukittinggi, SumatraBarat yang
didirikan pada tanggal 20 Mei 1930. Karakter gerakan Perti sama dengan NU,
yaitu oraganisasi Islam tradisoonal
Partai
Politik Tarekat Islam (PPTI) merupakan partai Islam yang menjadi kontestan pada
pemilu 1955. Hasil pemilu 1955 menunjukan, bahwa PPTI berada pada peringatan
ke-32 untuk DPR RI dengan memperoleh total keseluruhan 85.131 suara atau 0,22%
dan mendapatkan jatah 1 kursi di parlemen. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 59)
Secara
detail, Feith (1957 : 66-72) menunjukan hasil suara PPTI yang tidak memperoleh
suara di tiap propinsi. PPTI hanya memperoleh suara di tiga provinsi, yaitu
Sumatra Tengah (35.156 suara untuk DPR RI dan 33.516 suara untuk Majelis
Konstituente), Sumatra Utara (27.084 suara untuk DPR RI dan 21.459 suara untuk
Majelis Konstituente), dan Kalimantan Selatan (16.429 suara untuk DPR RI dan
14.074 suara untuk Majelis Konstitunte). (Ridho Al-Hamdi : 2013, 59)
Partai
Aksi Kesatuan Umat Islam (Partai AKUI) termasuk juga partai Islam yang
berkontestasi pada pemilu 1955. FEith (1957 : 59 – 61) mengkategorikan AKUI
sebagai A Small Group Party of Regional Significance dengan basis utama di
Propinsi Jawa Timur. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 59)
Asfar,
Ismanto (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 59) Pemilu ini didasarkan pada UU
Pemilihan Umum No.7 tahun 1953 dengan asas umum, periodic, jujur, berkesamaan,
bebas, rahasia dan langsung. Tujuan pemilu kali ini adalah untuk memiliki
anggota Majelis Konstituente dan Anggota DPR. Pemilu kali ini diikuti oleh 172
tanda gambar yang terdiri dari perorangan, partai politik nasional partai
politik, local, dan organisasi kemasyarakatan (non-partai politik)
Asfar,
( Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 60) Tujuan pemilu kali ini adalah untuk memilih
anggota Majelis Konstituente dang Anggota DPR. Sistem pemilihanya menggunakan
system daftar tertutup atau meminjam istilah Lijphart disebut closed list
system. Para pemilih harus memiliki satu partai politik saja dari partai-partai
yang tersedia sebagai peserta pemilu, bukan memilih kandidat/calon.
Asfar,
( Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 60) Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama di
Indonesia yang diadakan pada tanggal 29 September 1955 untuk pemilihan anggota
DPR RI dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk pemilihan anggota Majelis
Konstituante. Pada pemilu kali ini, penggunaan agama dan ideology sebagai basis
perjuangan partai politik sangat mengental .
Asfar,
( Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 61) Kenyataan di atas menyebabkan terjadinya
perang ideologis antara partai dan saling menjatuhkan di antara mereka. Partai
Masyumi misalnya, selama Pemilu 1955 menyerang PKI dan pendukungnya sebagai
kelompok atheis. Sebaliknya, Masyumi mendapat kritik luar bias justru dari
Partai NU karena ide-ide pembaharauan yang diperjuangkannya.
Dari
hasil perolehan sebagaimana tergambarkan di atas, Feith (1957 : 61)
mengelompokan partai Islam menjadi tiga kelas.
1.
Partai Utama (Major Parties) yaitu partai
yang meraih suara mayoritas di bandingkan partai-partai yang lain. Partai Islam
yang termasukkelompok ini ada dua, yaitu Masyumi dan Partai NU, serta dengan
PNI dan PKI.
2.
Partai Menengah (Medium-sized Parties)
yaitu partai yang meraih suara luas secara nasional tetapi tidak masuk dalam
kategori emat partai besar. Partai yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
PSII dan Perti, setara dengan Parkindo, Partai Katolik, PSI, dan IPKI.
3.
Partai Kecil (Small Parties), yang
dibagi lagi menjadi dua kelompok :
a.
Small Groups of
Nation-wide Significance yaitu kelompok
partai yang mampu meraih suara diberbagai provinsi
sehingga dikatakan sebagai partai kecil dengan dukungan luas secara nasional. Kelompok ini terdiri dari PPTI, setara
dengan PRN, Partai Buruh, PRI, Partai Murba, dll.
b.
Small Groups
of Regional Significance yaitu kelompok
partai yang hanya meraih suara di suatu provinsi
tertentu. Seperti Partai AKUI yang hanya meraih suara di Jawa Timur, terutama
dari kalangan etnis Madura. Selain Partai AKUI, ada Gerinda
di Yogyakarta, Partai Persatuan Daya di
Kalimantan Timur, Partai Rakyat Desa (PRD) di Jawa Timur, Gerakan Pilihan Sunda
dan Partai Tani Indonesia di Jawa Barat,
Partai Indonesia Raya di NTB terutama di Lombok, dll.
Pengelompokan terhadap partai menjadi tiga kelas seperti
dijelaskan di atas adalah berdasarkan fakta
dan data suara yang diperoleh oleh masing-masing partai. Dengan angka-angka
tersebut, masing-masing partai telah menunjukkan kekuatan dan kinerjanya
dibanding partai yang lain. Secara terperinci, berikut ini
adalah hasil perolehan kursi partai-partai Islam berdasarkan dapilnya. (Ridho
Al-Hamdi : 2013, 63)
Asfar ( DalamRidho
Al-Hamdi : 2013, 71) Sebagai bagian dari konsekuensi hasil pemilu 1955, cukup
menarik juga dikemukakan tentang komposisi menteri-menteri
dari partai Islam di Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (Periode 1956-1957). Setelah
hasil suara ditetapkan, Soekarno
berharap empat partai pemenang, yaitu PNI, Masyumi, Partai NU, dan PKI dapat terakomodasi di kabinet. Tetapi Masyumi tidak
menerima kehadiran PKI yang memiliki sejarah buruk di masa lalu, yaitu
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Dengan masuknya PKI
ke kabinet, hal itu bisa dijadikan alat untuk menghimpun kekuatannya kembali.
Sikap Masyumi ini didukung oleh PSII. Namun,
di sisi lain Partai NU malah justru bisa menerima orang-orang pilihan PKI asal
bukan anggota dan daftar calon PKI. Sedangkan posisi Perti agak membingungkan,
yaitu bersedia menerima PKI duduk di kabinet asalkan Masyumi tidak. Karena,
jika kedua-duanya duduk dalam satu kabinet, dapat dipastikan kabinet akan cepat
bubar.
Asfar ( DalamRidho
Al-Hamdi : 2013, 71) Dalam komposisi
kementerian, Masyumi tidak berhasil memperjuangkan kepentingannya untuk mendapatkan Jabatan Menteri Pendidikan, Menteri
Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Masyumi mendapatkan posisi sebagai Wakil Perdana Menteri I, Menteri Kehakiman,
Menteri Keuangan, dan Menteri
Pekerjaan Umum. Sementara itu, Partai NU memperoleh jatah lima menteri, yaitu
Wakil Perdana Menteri II, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Perekonomian, Menteri Sosial, dan Menteri Agama. Berikut ini
daftar menteri-menteri dari partai Islam yang duduk di Kabinet Ali
Sastroamidjoyo (Asfar, 2006: 73):
Setelah
pemilu 1955 terlaksana dengan aman dan damai, perjuangan partai Islam mengalami
fragmentasi yang kurang stabil. Di tengah
tidak jelasnya kerja Majelis Konstituante dalam menyusun UUD Permanen, Soekamo pada akhirnya mengeluarkan dekrit presiden
pada tanggal 5 Juni 1959 yang isinya adalah menetapkan UUD '45 sebagai UUD permanen Indonesia dan pada saat yang
bersamaan membubarkan Majelis Konstituante karena kerjanya dianggap oleh
Soekamo tidak jelas. Padahal, menurut sumber yang lain, Majelis Konstituante hampir selesai dalam menyusun UUD permanen
tersebut. Hanya saja, ketidaksabaran Soekamo
lah yang membuat dirinya membubarkan lembaga rakyat tersebut yang merupakan hasil mandat pemilu 1955. Pasca
peristiwa tersebut, Soekamo menyatakan bahwa periode kepemimpinannya
adalah Demokrasi Terpimpin. Maksud dari gagasan ini adalah bahwa Soekamo adalah
pemimpin tunggal dan tidak ada yang berhak melawannya. Konsep yang demikian ini
memiliki sejumlah dampak yang tidak berpihak terhadap partai-partai Islam.
(Ridho Al-Hamdi : 2013, 72)
Peristiwa Surat Perintah 11
Maret 1966 atau yang dikenal dengan Supersemar merupakan titik awal kemunculan rezim Orde Baru. Berkat peristiwa ini pula,
Soeharto didapuk menjadi pemegang mandat kepemimpinan
nasional. Kondisi saat itu adalah buruknya ekonomi dan instabilitas politik
karena pertarungan antar kekuatan politik yang merupakan warisan
dari rezim Orde Lama. Karena itu, untuk mewujudkan kondisi
ekonomi yang sehat dan mandiri serta kehidupan politik yang stabil dan
terkendali, strategi keamanan adalah solusi terbaiknya. Cara pandang inilah
yang dipakai oleh rezim Orde Baru. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 75)
Aziz (Dalam Ridho
Al-Hamdi : 2013, 75) Tujuan dari strategi ini adalah sebagai proteksi terhadap
kemungkinan munculnya ancaman kepada negara yang sedang giat membangun. Namun,
dalam prakteknya, alasan proteksi yang demikian itu justru membuka akses bagi
militer (ABRI) untuk ikut memainkan peranan politik. Peran militer menjadi
begitu sangat dominan dalam panggung politik
nasional. Lantaran dianggap kontroversial, keterlibatan militer dalam
politik tersebut menuai protes dan kecaman, terutama dari gerakan
pro-demokrasi. Lebih jauh lagi, dominasi
ABRI semakin menemukan momentumnya ketika dwifungsi ABRI diterapkan. Dwifungsi ABRI
adalah keterlibatan militer selain dalam bidang pertahanan-keamanan (hankam),
juga berfungsi di bidang politik. Jika
dwifungsi ini dilakukan, maka stabilitas politik akan tercipta untuk
kepentingan akselerasi pembangunan ekonomi.
Aziz (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 76) Dominasi ABRI selama Orde Baru memunculkan
pandangan bahwa pemerintah yang berkuasa saat itu mengebiri keberadaan partai politik yang dipandang dapat menjadi
pesaing yang berbahaya bagi stabilitas politik dan seringkali memicu
konflik yang akan menyebabkan keresahan rakyat. Partai politik yang dimaksudkan
adalah PNI dan Masyumi. Karena itu, pemerintah melalui elite-elite Golkar
melarang unsur-unsur pendukung Soekarno
masuk ke jajaran pengurus PNI dan melarang dihidupkannya kembali Masyumi
dengan mendirikan partai baru yang bernama Parmusi (Aziz, 2006: 77-78).
Sebenarnya
pertentangan ideologis yang terjadi di era Orde Lama meninggalkan trauma
politik bagi
Orde Baru. Karenanya, sejak awal Orde Baru memandang perlunya desain politik
anti-ideologi yang dinilai mampu menghilangkan perbedaan dan pertentangan
ideologis, khususnya di bidang agama. Partai Islam
dianggap menjadi kekuatan yang dapat membayakan negara. Kalangan militer
berpandangan, bahwa para politisi
Islam telah menggunakan agama sebagai tameng untuk mendesak tuntutan terbentuknya sistem pemerintahan yang berasaskan
Islam. Menghadapi militansi dan oposisi Islam tersebut, Orde Baru menggunakan strategi model Snouck Hurgronye, yakni
memisahkan Islam sebagai agama dan
Islam sebagai pandangan politik. Islam yang memuat dimensi politik dipandang
sebagai ancaman potensial bagi
stabilitas politik. Karena itu, Orde Baru berusaha melumpuhkan kepemimpinan Islam
politik yang masih ada serta menyingkirkan tokoh-tokoh partai Islam seperti
Parmusi (Aziz, 2006: 80-81). Atas dasar itulah, rezim Orde Baru menerapkan fusi
partai politik hingga rezimnya tumbang. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 76)
Selama
era Orde Baru, terdapat lima partai Islam yang pernah lahir dan terlibat
menjadi peserta pemilu. Empat di antaranya
yaitu Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti pernah hidup di awal kepemimpinan Soeharto sejak 1968 hingga menjadi peserta pemilu 1971.
Namun, akibat kebijakan penguasa saat itu, empat
partai Islam tersebut difusikan pada tahun 1973 menjadi satu partai yang
kemudian diberi nama PPP. Mengenai
platform kelima partai Islam tersebut, tiga di antaranya merupakan partai
peninggalan rezim Orde Lama, yaitu Partai NU, PSII, dan Perti. Tidak ada
perbedaan platform ketiga partai tersebut baik
di era Orde Lama ataupun di era Orde Baru. Karena itu, penjelasan terhadap tiga
partai ini tidak akan duraikan lagi
karena telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Sedangkan bab ini hanya
menguraikan dua partai lainnya, yaitu Parmusi dan PPP,
yang memang lahir di era Orde Baru. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 76)
1.
Parmusi
Amir (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 77) Kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
merupakan hasil kesepakatan antara mantan petinggi Masyumi
yang gagal merehabilitasi partainya
dengan rezim yang berkuasa
saat itu. Soeharto mengizinkan berdirinya partai baru tersebut dengan
catatan eks Masyumi tidak boleh lagi masuk dalam jajaran pimpinan Parmusi. Setelah melalui perdebatan dan perjuangan yang
panjang, Parmusi dapat didirikan
secara resmi pada tanggal 20 Februari 1968 dengan Ketua Umum Djarnawi
Hadikusumo dan Sekretaris Jenderal
Lukman Harun, yang keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Namun, kedekatan dua pimpinan tersebut dengan tokoh senior Masyumi
mengakibatkan mereka disingkirkan dari partai oleh penguasa Orde Baru dengan cara negara merekayasa
adanya konflik di internal partai melalui manuver politik HJ. Naro. Konflik tersebut yang menjadi
pintu masuk negara "membantu menyelesaikannya" dengan menunjuk
ketua umum baru yang lebih akomodatif terhadap negara, yaitu MS. Mintardja.
Parmusi tidak
berumur panjang. Tak lama setelah konflik di internal Parmusi, muncul keputusan
rezim Orde Baru yang mengharuskan partai-partai
digabungkan atau difusikan menjadi dua saja, yaitu partai nasionalis dengan lahirnya PDI dan partai Islam
yang melahirkan PPP. Di luar itu, ada satu golongan netral, yaitu
Golkar yang menjadi kekuatan tunggal rezim Orde Baru. (Ridho Al-Hamdi : 2013,
76)
2.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) didirikan pada
tanggal 5 Januari 1973 dengan asas Islam. Partai ini merupakan hasil fusi empat partai Islam sebelumnya yaitu Partai NU,
Parmusi, PSII, dan Perti. Tujuan dari penggabungan keempat partai tersebut
adalah agar terjadi penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi pemilu selanjutnya pada
masa Orde Baru. Pada awalnya, jabatan ketua umum berbentuk presidium
yang terdiri dari KH. Idham Chalid sebagai presiden partai serta Mintardja, Thayeb Gobel, Rusli Halil, dan Masykur sebagai
wakil presiden partai. Setelah dideklarasikan, ketua pertama adalah HM
Syafaat Mintardja SH (5 Januari 1973-1978), kemudian dilanjutkan H. Djailani
Naro (1978-1989), Ismail Hassan Metareum (1989-1998).
Aziz (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 77) Basis pendukung PPP tentu dari kalangan umat Islam
yang sebelumnya bergabung dalam Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Secara lebih detail, pengikut Parmusi yang tergabung dalam PPP disebut dengan
MI. MI memiliki kecenderungan kuat sebagai kelompok modernis. Kecenderungan ini
tercermin dari asal-usul anggota MI yang berada di PPP, yang sebagian besar
dari HMI, PII, Al Washilah, dan Muhammadiyah
yang kedua organisasi terakhir ini merupakan pendukung utama Masyumi di era
Orde Lama. Garis hubungan MI dan Masyumi menjadi semakin jelas jika
dikaitkan dengan Parmusi. Namun, sebenarnya
jika dilihat dari basis pendukungnya, MI merupakan representasi dari kelompok
yang mengambang. Keterlibatan para politisi MI yang ada di PPP lebih
bersifat personal dan hampir tidak ada hubungannya
dengan organisasi massa pendukungnya, baik Muhammadiyah, HMI, PII, bahkan
Masyumi.
Aziz (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 77) Dalam menjalankan khidmah politiknya, sepak
terjang PPP didasarkan pada prinsip-prinsip perjuangan yang sekaligus berfungsi sebagai kerangka nilai yang ingin
ditegakkan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: (1) Ibadah; (2)
Kebenaran, kejujuran, dan keadilan; (3) Musyawarah; (4) Persamaan, persatuan,
dan kebersamaan; (5) Istiqomah; dan (6) Amar makruf nahi munkar (Aziz, 2006:
96).
Asfar (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 80) Karena itu,
sistem yang diterapkan di era Orde Baru adalah sistem proporsional yang
digabungkan dengan sedikit unsur distrik atau sistem proporsional tidak
murni. Penerapan sistem ini adalah sebagai penyempurnaan sistem pemilu sebelumnya yang menunjukkan
tingginya kesenjangan antara wakil dari Jawa dan luar Jawa. Dengan begitu, penentuan kursi masing-masing
dapil harus melalui dua tahap. Pertama, jumlah wakil dari setiap dapil untuk DPR RI
sekurang-kurangnya sama dengan jumlah daerah tingkat II yang ada dalam
dapil bersangkutan. Artinya, setiap daerah tingkat II sekurang-kurangnya
memiliki seorang wakil. Kedua, bagi dapil yang mempunyai kelebihan penduduk
kelipatan 400 ribu (kuota untuk satu kursi di DPR RI), maka daerah
tersebut mendapat tambahan kursi sesuai dengan kelipatannya. Jika masih ada kelebihan jumlah penduduk yang bilangannya tidak
sampai 400 ribu, maka kelebihan tersebut akan dihitung dengan
memperhatikan jumlah kelebihan di daerah tingkat II yang lainnya.
Asfar, Ismanto (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 80) Sebagaimana terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu
Orde Baru juga menggunakan sistem closed list system. Para pemilih hanya boleh memilih satu partai politik yang tersedia
sebagai peserta pemilu, bukan memilih
kandidat maupun calon. Selain itu, calon legislatif (caleg) juga ditentukan
oleh pemerintah, melalui mekanisme
litsus (penelitian khusus). Karena itu, sebenarnya partai tidak otomatis dapat
menentukan daftar calegnya sendiri. Konsekuensinya, kriteria utama boleh atau
tidaknya seseorang tampil menjadi elite
dapat dirumuskan dalam PDLT: Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak Tercela. Warga yang berhak memilih adalah mereka yang
berstatus WNI yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah. Prosedur pendaftarannya sama dengan
sistem pemilu 1955.
Islanto (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 80) Tujuan
pemilu selama era Orde Baru adalah memilih anggota DPR RI, DPRD I dan DPRD II
serta untuk mengisi keanggotaan MPR RI. Sedangkan penyelenggara pemilunya
dilaksanakan oleh pemerintah di bawah
pimpinan presiden. Untuk itu, presiden membentuk Lembaga Pemilihan yang
diketuai oleh Mendagri. Strukturnya
adalah Panitia Pemilihan Indonesia yang ada di Jakarta, Panitia Pemilu Dati I yang berkedudukan di ibukota Provinsi, Panitia
Pemilihan Dati II yang berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, Panitia Pemungutan Suara di kota Kecamatan, dan Panitia
Pendaftaran Pemilu di tingkat Desa.
Peserta pemilu adalah partai politik (PPP dan PDI) dan 1 Golongan Karya
Asfar (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 80) Pemilu pada tahun ini diadakan pada tanggal 3
Juli 1971 dan diikuti oleh 10 kontestan partai politik, yaitu PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti, Parkindo, Partai
Katolik, Murba, IPKI, dan Golkar. Sejak pemilu 1971-1997, para ilmuwan
politik menyatakan bahwa pada setiap pelaksanaan pemilu, pasti tidak terlepas
dari persoalan-persoalan seperti campur
tangan birokrasi dan ABRI, kecurangan pada saat pendaftaran, manipulasi dalam proses perhitungan suara, dan
lain sebagainya. Hasil pemilu 1971 menunjukkan, bahwa Golkar berhasil
menjadi partai pemenang dengan meraih 62,8% suara. Kemudian disusul oleh Partai
NU dan Parmusi.
Sejak pemilu 1977, partai politik difusikan menjadi
dua yaitu, PDI mewakili kelompok nasionalis yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katholik. Sedangkan
PPP mewakili kelompok Muslim yang terdiri dari Partai NU, Parmusi, PSII,
dan Perti. Di luar dua partai ini ada satu golongan netral, yaitu Golkar.
Karena itu, dari lima kali pemilu sejak 1977-1997, kontestan partai yang ikut
dalam pemilu juga hanya dua partai dan satu
Golongan Karya. Pemenang pemilu berturut-turut selalu diraih oleh Golkar sebagai
partai penguasa dan pendukung rezim Soeharto. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 81)
Asfar (Dalam Ridho Al-Hamdi : 2013, 84) Proses pelaksanaan pemilu 1982 diselenggarakan
pada tanggal 4 Mei 1982. Pemilu kali ini tidak jauh berbeda dengan
pemilu 1977 dan 1971. Keluhannya juga masih sama, seperti kecurangan, intimidasi,
dan semacamnya. Menjelang pemilu 1982, PPP
sibuk dengan konflik internal antara kelompok NU dan MI yang salah sarunya
disebabkan adanya campur tangan pemerintah yang terlalu jauh terhadap masalah internal PPP. Konflik itu bermula dari perbedaan pendapat
dalam Sidang Umum MPR RI yang membahas tentang
hasil pemilu 1977. Kelompok NU bersikeras melakukan walk out pada saat
pembahasan Rantap tentang GBHN
(aliran kepercayaan) di komisi A dan Rantap tentang P4 di komisi B. Sedangkan
dari unsur MI, SI, dan Perti ingin tetap mengikuti pemungutan suara.
Konflik antara NU dan MI juga terjadi dalam
berbagai arena politik di parlemen yang semakin mengeras. Di tengah kemelut PPP
tersebut, pemilu 1982 tertap dilaksanakan.
Menurunnya suara PPP pada pemilu
kali ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, para pendukung dan
simpatisan PPP di pedesaan masih trauma dengan cara-cara tidak proporsional
yang dilakukan aparat keamanan pemerintah
dalam menyelesaikan tuduhan kasus Komando Jihad. Selama rentang waktu 1977-1982,
banyak tokoh-tokoh Islam di berbagai daerah ditangkap dengan tuduhan terlibat
dalam aktivitas Komando Jihad. Kebetulan,
hampir mayoritas tokoh-tokoh Islam yang dituduh tersebut adalah pendukung PPP. Mereka ditangkap dengan cara-cara
yang tidak wajar, seperti ditangkap waktu malam, tanpa surat perintah,
dan tidak boleh dijenguk. Kedua, semakin populernya ide-ide gerakan
moral yang memisahkan agama dan politik. Ide
sekularisasi yang digencarkan Nurcholis Madjid alias Cak Nur dengan slogannya Islam Yes, Partai Islam No direspon
luas di tingkat bawah pada awal tahun 1980-an. alam. (Ridho Al-Hamdi :
2013, 84)
Pada pemilu 1987 ada satu keputusan yang tidak
menguntungkan PPP yaitu adanya keharusan organisasi sosial maupun politik mencantumkan pancasila sebagai asasnya. Sebagai
partai politik yang selama ini selalu dicitrakan sebagai partai Islam,
PPP tentu tidak memiliki landasan formal lagi untuk menggunakan Islam sebagai basis perekat massa. Padahal,
kejayaan PPP dapat diraih karena kemampuan para elite-elitenya dalam memanfaatkan simbol-simbol Islam
sebagai alat untuk memobilisasi massa. Dengan larangan penggunaan asas
Islam, banyak kalangan yang meramalkan PPP akan kehilangan isu utamanya pada
pemilu 1987. Dan ramalan itu tidak berlebihan. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 85)
Suara PPP merosot jauh dari 27,8% pada pemilu 1982
menjadi 15,97% pada pemilu 1987. Dengan demikian, PPP kehilangan 33 kursi di
DPR RI. Golkar meningkat dari 64,3% pada pemilu 1982 menjadi 73,16% pada pemilu 1987. PDI juga mengalami
kenaikan dari 7,9% pada pemilu 1987 menjadi 10,87% pada pemilu 1987 (Liddle,
1992: 92; Asfar, 2006: 89). Secara lebih detail, berikut ini disajikan hasil perolehan
suara pemilu 1987. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 85)
Di kawasan pedesaan Jawa Timur, satu-satunya daya
tarik PPP adalah posisinya yang lekat dengan simbol
partai Islam. Para pemilih tradisional NU misalnya, menghadiri kampanye PPP
bukan karena tertarik untuk
mendengarkan program-program partai, bukan pula karena kehadiran elite-elite
PPP tingkat pusat, tetapi lebih karena tertarik dengan ceramah dan
tampilnya para tokoh dan kyai panutan mereka. Artinya,
di tingkat bawah kampanye bukan sekadar alat komunikasi politik, melainkan
sebagai sarana dakwah Islam. Dengan
dihilangkannya asas Islam dan larangan penggunaan simbol ka'bah sebagai gambar partai, PPP seakan kehilangan identitas. Hal
ini terbukti dengan tidak mampunya PPP menawarkan
isu-isu alternatif kecuali mereaksi berbagai aksi kelompok-kelompok tertentu
yang menyudutkan posisi partainya. Selain itu, adanya keputusan NU pada
Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984 yang menyatakan
kembali pada khittah 1926 dan tidak ingin terlibat dalam dunia politik praktis
semakin menambah turunnya suara PPP. Sejak saat itu, peran elite-elite NU dalam
PPP semakin dikurangi dan pada pemilu 1987,
caleg-caleg dari NU semakin dikurangi dari daftar calon sementara (Asfar, 2006: 89-90).
Pemilu 1997 diadakan dalam
suasana Golkar pada posisi "defensif'. Pada pemilu kali ini ada fenomena yang menarik yaitu munculnya Mega-Bintang pada musim
kampanye, yaitu pendukung PPP yang pro PDI
Megawati atau pendukung PDI Megawati yang pro PPP. Fenomena ini setidaknya
membenarkan dugaan beberapa pengamat, bahwa
sebagian massa PDI pro-Megawati hijrah ke partai Bintang. Atas kejadian yang demikian, suara PPP naik 5% yang awalnya
pada pemilu 1992 meraih 17,01% menjadi 22,43% pada pemilu 1997. Kenaikan suara
PPP disebabkan salah satunya karena kembalinya massa "tradisional" PPP di Jawa Timur dan Jawa Tengah
yang pada dua pemilu sebelumnya hijrah ke Golkar dan PDI. Ini artinya, ada realignment dari pemilih PPP yang pada
pemilu sebelumnya memilih partai lain. (Ridho Al-Hamdi :
2013, 88)
Selain itu, naiknya suara PPP dipengaruhi oleh
beberapa hal. Pertama, adanya kesadaran kalangan pemilih perkotaan, khususnya yang berasal dari kalangan Muslim, untuk
melihat PPP sebagai partai altematif.
Para pemilih ini berharap, PPP dapat berperan kritis dan menjadi lokomotif
untuk berperilaku politik secara etis dan menomorsatukan akhlak yang mulia.
Gejala ini terlihat dengan kegairahan massa PPP dalam menyambut yel-yel
Jurkam yang memperjuangkan perbaikan sistem dengan menggunakan idiom-idiom Islam. Kedua, keberhasilan PPP
dalam mengangkat isu reformasi politik pada saat kampanye. Pada pemilu
1997, PPP terlihat berbeda. Kali ini, kampanye PPP memberikan perhatian besar
pada isu-isu perubahan sosial-politik serta bersikap kritis terhadap
pemerintah. Cara-cara yang demikian mampu meraih simpati masyarakat (Asfar,
2006: 105).
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan
pengunduran dirinya dari jabatan presiden akibat tekanan massa di berbagai
daerah. Pasca tumbangnya, rezim berganti ke era Reformasi atau era transisi. Pada era reformasi, partai politik Islam banyak
muncul ke permukaan bahkan mengalami fragmentasi yang sangat beragam. Kekuatan-kekuatan Islam yang pemah berjaya sejak
pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan kembali muncul ke pelataran
publik. Di antara mereka ada yang hanya ikut sekali dalam pemilu, setelah itu dibubarkan karena tidak
mendapatkan suara signifikan. Ada yang hanya berganti nama dan lambang
agar bisa lolos verifikasi pada pemilu berikutnya. Ada juga yang melakukan
penggabungan (fusi) dengan beberapa partai
lainnya sehingga melahirkan partai baru. Namun, ada juga partai yang selalu mendapatkan kursi dan menjadi salah satu
partai yang diperhitungkan dalam dinamika politik nasional. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 93)
Di awal tumbangnya pemerintahan
Orde Baru, partai-partai Islam mulai bermunculan dengan puluhan
corak ideologi dan lambangnya. Berikut ini adalah daftar nama-nama partai Islam
yang lahir di awal-awal reformasi tahun
1998. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 93)
Dari 42 partai Islam, dua di
antaranya tidak memenuhi persyaratan pendaftaran (diskualifikasi) oleh Depkeh
dan lima partai Islam yang lainnya sengaja tidak mendaftarkan ke Depkeh. Hanya
saja kelima partai tersebut telah tercatat pada Depdagri
sebelum diberlakukannya UU nomor 2 tahun 1999 tentang partai
politik. Tidak ditemukan data yang jelas mengapa lima partai Islam tersebut
"tidak berani" mendaftarkan ke
Depkeh. (Ridho Al-Hamdi : 2013, 93)
Platform Partai-Partai Islam terdiri dari :
1.
Partai Abul Yatama
(PAY)
2.
Partai Amanat
Nasional (PAN)
3.
Partai Bintang
Reformasi (PBR)
4.
Partai Bulan Bintang
(PBB)
5.
Partai Cinta Damai
(PCD)
6.
Partai Indonesia
Baru (PIB)
7.
Partai Islam
Demokrat (PID)
8.
Partai Keadilan
Sejahtera (PKS)
9.
Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB)
10. Partai
Kebangkitan Umat (PKU)
11. Partai
Kebangkitan Muslim Indonesia (Partai KAMI)
12. Partai
Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
13. Partai
Masyumi Baru (PMB)
14. Partai
Matahari Bangsa (PMB)
15. Partai
Nahdhatul Ummat (PNU)
16. Partai
Persatuan (PP)
17. Partai
Persatuan NAhdhatul Ummah Indonesia (PPNUI)
18. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP)
19. Partai
Politik Islam Indonesia (PPII Masyumi)
20. Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII)
21. Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII 1905)
22. Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI)
23. Partai
Umat Islam (PUI)
24. Partai
Umat Muslimin Indonesia (PUMI). (Ridho Al-Hamdi : 2013, 96-107)
Pemilu tahun 1999
diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999. Sistem pemilu 1999 mengalami proses perdebatan yang sangat panjang. Banyak pihak yang
mengusulkan sistem pemilu kali ini, antara lain Depdagri, LIPI,
konsorsium organisasi otonom dan independen, dan pihak kehakiman. Setelah
melalui proses-proses yang dinamis,
disepakati beberapa hal terkait dengan sistem pemilu 1999. Pertama, pemilu
menggunakan sistem proporsional
dengan sistem stelsel terdaftar. Kedua, penyelenggara pemilu adalah KPU
sebagai lembaga independen. Anggota KPU
terdiri dari unsur-unsur partai politik peserta pemilu (masing-masing partai 1
wakil) dan pemerintah 5 wakil. Ketiga, pemilih
adalah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah. (Ridho
Al-Hamdi : 2013, 107)
Secara umum, keempat
partai Islam tersebut (PKS, PAN, PPP, PKB) memiliki dinamikanya masing-masing. Ada PKS yang suaranya dari pemilu
ke pemilu selalu meningkat. Sebaliknya, ketiga partai lainnya (PPP, PAN, PKB) selalu mengalami penurunan suara. Penuruanan
suara yang sangat drastis terjadi
pada PKB dan PPP. Turunnya suara PKB tidak terlepas dari konflik internal
partai, terutama ditunjukkan oleh
konflik antara kubu Gus Dur sebagai pendiri PKB dan kubu Muhaimin Iskandar
sebagai generasi muda yang menjadi ketua umum DPP PKB saat itu. Dalam berbagai
kesempatan, kedua kubu ini secara
terang-terangan saling menyerang satu sama lain. Bahkan, di internal PKB
terjadi dua kali muktamar dengan versi yang berbeda. Selain itu, pada
saat pengambilan nomor urut peserta pemilu 2009, Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid masing-masing dari mereka mengambil
kertas yang berbeda di kantor KPU Pusat, sehingga masing-masing mereka
menunjukkan angka yang berbeda di hadapan para peserta pemilu lainnya. Pada akhirnya, pengambilan nomor urut diulang
lagi dan PKB mendapatkan nomor urut
13. Kejadian ini semakin membuktikan kepada publik, bahwa PKB benar-benar
mengalami konflik yang serius. (Imam Al-Hamdi:2013,
135)
Sekalipun
kemenangan berpihak pada kubu Muhaimin Iskandar, namun kubu Gus Dur tidak tinggal
diam. Gus Dur akhirnya keluar dari PKB dan secara terang-terangan mendukung
Partai Gerindra dalam banyak kesempatan.
Bahkan Gus Dur dan putrinya Yenny Wahid beserta sebagian pendukung fanatik
PKB Gus Dur menggembosi suara basis massa PKB di berbagai daerah agar tidak
memilih PKB. Pada akhirnya, sebagian
pendukung loyal PKB berbondong-bondong hijrah mendukung Gerindra serta tersebar
ke partai-partai yang lainnya baik partai Islam maupun partai uasionalis. Dari
situlah, suara PKB yang pada pemilu 2004 adalah 10,57% mengalami penurunan
5,62% sehingga pada pemilu 2009 hanya memperoleh
4,95% suara. Berikut ini disajikan data perbandingan hasil perolehan suara
partai-partai Islam pada tiga kali pemilu selama era Orde Baru. (Imam Al-Hamdi:2013, 125)
Dari tabel di atas,
dapat diketahui bahwa secara menyeluruh, partai Islam di era Reformasi mengalami
kemunduran suara. Ini menjadi dasar evaluasi bersama untuk partai-partai Islam
agar bisa mengoptimalkan mesin partai
secara lebih efektif dan mulai melakukan konsolidasi internal partai. Gejala yang
muncul belakang adalah di internal PKS terjadi konflik di kalangan elitenya
antara Yusup Supendi dan para pendiri PKS.
Sebagian pengamat politik menilai, bahwa konflik di internal PKS ini dapat mengakibatkan
turunnya suara PKS pada pemilu 2014. Di samping itu, munculnya sejumlah kasus
moral di kalangan elite PKS dapat juga
menyebabkan turunnya suara partai ini pada pemilu 2014. Sebagai contoh,
terekamnya adegan Arifinto (salah satu pendiri PKS dan pendiri Majalah
Sabili) yang membuka situs video porno saat sidang paripurna DPR RI atau
dipergokinya salah seorang anggota DPRD dari PKS di salah satu Kabupaten/Kota di Jambi yang kedapatan sedang pijat
plus-plus dan saat dipegoki hanya memakai
celana dalam saja. Meskipun anggota DPRD tersebut menyangkal dan mengatakan
sedang pijat, bukti riil tidak bisa
dielakkan lagi. Kasus lain adalah tertuduhnya Misbakun (anggota DPR RI dari
PKS). (Imam Al-Hamdi:2013, 125)
Prestasi – prestasi partai islam dalam pemilu 2009
a.
Memperoleh suara terbanyak
di 6 propinsi
b.
Anggota DPR RI
termuda
c.
Keterlibatan
perempuan dalam DPR RI. (Imam Al-Hamdi:2013,
128-129)
Secara garis besar,
dapat diketahui beberapa hal tentang dinamika partai Islam dalam kabinet
pemerintahan selama era Reformasi. Pertama, banyaknya jumlah menteri
dari partai Islam terjadi pada masa
kepemimpinan Gus Dur. Hal ini tidak terlepas dari sosoknya yang mewakili
kepentingan politik kaum santri dan kemenanganya menandakan
kebangkitan politik Islam yang sempat ditenggelamkan oleh rezim Orde Baru. Kedua, perombakan kabinet
banyak terjadi pada era kepemimpinan SBY. Sebaliknya, pada era Megawati,
perombakan kabinet tidak pernah terjadi. Namun, porsi menteri partai Islam pada
era Megawati sangat sedikit. Ketiga, pada
dua periode kepemimpinannya, SBY cenderung menerapkan pola yang sama jatah untuk menteri partai-partai Islam. (Imam Al-Hamdi:2013, 131)
Definisi partai Islam lokal tidak jauh
berbeda dengan definisi partai Islam sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
pertama. Perbedaannya hanya terletak pada faktor geografis. Jika partai Islam
secara uraura tidak dibatasi oleh faktor
geografis dan keberadaannya diakui luas secara nasional. Sedangkan yang dimaksud dengan partai Islam lokal adalah
partai politik yang berasas Islam dan ruang geraknya dibatasi oleh
geografis wilayah tertentu (provinsi). Karena itu, partai Islam lokal tidak
bisa berada di dua provinsi atau lebih apalagi diakui secara nasional. Seorang
warga negara di luar provinsi NAD tidak bisa memilih caleg dari partai salah
lokal di NAD tersebut. Karena ruang geraknya dibatasi secara teritorial, partai
Islam lokal tidak dapat mengartikulasikan kepentingannya di tingkat nasional. (Imam Al-Hamdi:2013, 133)
Namun, partai Islam lokal dapat berkompetisi dalam kancah
nasional seperti yang terjadi pada pemilu 1955 meskipun
suara mereka tidak signifikan dan kalah dari partai-partai berskala nasional. (Imam Al-Hamdi:2013, 133)
Fakta sejarah mengungkapkan, bahwa partai lokal di
Indonesia pernah lahir dan terlibat dalam mewarnai panggung politik tanah air. Keikutsertaan menjadi peserta pemilu pernah
terjadi pada dua kali pemilu yaitu tahun 1955 dan 2009. Di luar dua
pemilu ini, partai lokal tidak pernah diakui, bahkan harus dibumi hanguskan
untuk menghindari adanya gerakan separatisme atau revolusi lokal untuk
kemerdekaan. Feith (1957: 61) menemukan 12
partai lokal yang pernah terlibat dalam pemilu 1955. Berikut ini diuraikan dalam
tabel beserta perolehan suaranya. (Imam
Al-Hamdi:2013, 133)
"Sesegera mungkin,
tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi
pembentukan partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan
Nasional. Memahami aspirasi masyarakat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintahan RI dalam tempo
satu tahun, atau paling Iambatl8 bulan sejak penandatangan Nota
Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian
partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR. Pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini yang tepat waktu akan
memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut." (Imam Al-Hamdi:2013, 135)
Dari 12 partai lokal tersebut,
setelah KPU Pusat melakukan verifikasi faktual pada tanggal 8 Juli 2008, maka ditetapkan hanya adalah enam partai lokal yang
diakui serta dapat menjadi peserta pemilu pada tahun 2009. Keenam
partai tersebut adalah Partai Aceh, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara
Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai
Bersatu Atjeh (PBA), dan Partai Daulat Aceh
(PDA). Dari enam partai yang yang terdaftar menjadi partai lokal pada pemilu
2009, ada tiga partai yang dapat dikategorikan sebagai partai Islam,
yaitu:
1.
Partai Aceh Aman
Sejahtera (PAAS)
2.
Partai Daulat Atjeh (PDA)
3.
Partai Aceh. (Imam Al-Hamdi:2013, 135)
Selain
partai lokal yang memang berbasis pada satu daerah tertentu, ada satu hal
menarik dalam pemilu 2009, bahwa hampir 50%
kursi untuk PKB (dari 28 kursi) berasal dari Dapil yang ada Provinsi Jawa Timur. Dengan demikian, suara PKB tidak merata di
semua provinsi. (Imam Al-Hamdi:2013,
135-136)
Di Aceh Timur, Partai Aceh memenangkan
25 dari 35 kursi (71,42%). Sedangkan di tempat-tempat di mana kelompok etnis bertempat tinggal, Partai Aceh kurang
mendominasi. Di Aceh Tengah, Partai Demokrat berhasil merebut 4 kursi sementara
Partai Aceh hanya mendapatkan 3 kursi. Berbagai partai lain mendapatkan 1 atau
lebih kursi dari 31 kursi. Di Aceh Singkil, kabupaten yang agak terpencil di bagian barat daya, Golkar muncul sebagai
pemenang, sementara di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten
Subulussalam, PAN adalah partai terbesar (Tapol, Nomor 8 Juni 2009: 5).
Dengan demikian, meskipun partai lokal menguasai secara mayoritas, pada
beberapa kabupaten/kota, partai lokal mengalami kekalahan. (Imam Al-Hamdi:2013, 139)
Menurut
Jafar (2009), ada enam keuntungan politik apabila partai lokal lahir dan
berkembang di Indonesia yang multikompleks. Keenam keuntungan iru
adalah sebagai berikut:
1.
Partisipasi politik
masyarakat akan tersalurkan dalam wadah dan partai politik yang memiliki warna yang sesuai dengan karakter dan
lokalitas kedaerahannya. Partisipasi politik semacam ini akan makin mendekatkan
pemimpin dengan rakyatnya, sehingga terbangun jembatan politik yang mampu mewujudkan
tata kelola kebijakan yang berbasis pada aspirasi politik rakyat.
2.
Keberadaan partai
lokal secara subtansi dapat memagari keinginan untuk menuntut kemerdekaan. Hal ini
dikarenakan masyarakat secara
terbuka dan aktif terlibat dalam
proses pemilihan pemimpinnya tanpa
campur tangan pemerintah pusat. Karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan
mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintah pusat hanya menjadi penegas dari hasil tersebut.
3.
Rekruitmen politik
lebih jelas dan berbasis dari masyarakat sendiri. Rekruitmen tersebut menjadi
isu yang signifikan
karena acap kali calon-calon dalam pilkada tidak berbasis di daerahnya sehingga dapat dilihat
sebagai langkah mundur dalam penguatan politik lokal. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di
daerah akan makin kuat legitimasinya apabila diperoleh dari seleksi yang
dilakukan di sejumlah partai politik lokal, dan hasil dari kontestasi pilkada.
Dengan berbasis
pada dukungan partai lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan akan lebih baik lagi.
pada dukungan partai lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan akan lebih baik lagi.
4.
Keberadaan partai
lokal semakin menambah pilihan politik masyarakat. Beragamnya pilihan calon yang diusung dengan berbagai kendaraan politik sebenarnya
sedang melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat. Sehingga yang terbangun tidak hanya
sekadar sentimen kedaerahan saja, tapi
juga kesadaran dan pendidikan politik kepada masyarakat perihal calon-calon yang ada. Harus diakui, bahwa salah satu peluang yang harus diminimalisir dalam pembangunan partai lokal adalah terbangunnya sentimen kedaerahan yang membabi buta. Yang pada akhirnya menghilangkan semangat dan tujuan positif dari adanya partai lokal.
juga kesadaran dan pendidikan politik kepada masyarakat perihal calon-calon yang ada. Harus diakui, bahwa salah satu peluang yang harus diminimalisir dalam pembangunan partai lokal adalah terbangunnya sentimen kedaerahan yang membabi buta. Yang pada akhirnya menghilangkan semangat dan tujuan positif dari adanya partai lokal.
5.
Tereksploitasinya segenap potensi daerah
untuk bersama-sama membangun daerahnya
secara konstruktif. Keberadaan potensi daerah yang tidak muncul saat
menggunakan sistem kepartaian nasional, karena adanya campur tangan pusat, maupun dewan
pimpinan pusat partai bersangkutan dalam
pencalonan dan seleksi kandidat akan tereduksi dengan diperbolehkannya partai
lokal. Hal ini menjadi salah satu peluang
bagi potensi lokal yang selama ini tidak terakomodasi untuk membuktikan
kapasitasnya lewat kendaraan politik partai lokal.
6.
Dengan adanya
partai lokal diasumsikan akan memberikan garansi regenerasi kepemimpinan
politik di
daerah yang berkesinambungan. Regenerasi kepemimpinan politik di daerah tidak
lagi terinterupsi oleh kepentingan pemerintah
pusat atau pengurus partai di tingkat pusat yang hanya akan memaksakan calon-calon dropping dari dewan
pimpinan partai atau rekayasa pemerintah pusat. Regenerasi kepemimpinan politik yang berkesinambungan memberikan harapan
bagi masyarakat untuk secara
bersungguh-sungguh memberikan aspirasi politiknya agar daerahnya lebih maju, dengan
tetap memperhatikan asas tata kelola pemerintahan yang baik. (Imam Al-Hamdi:2013, 140-139)
Selain enam hal tentang urgensi partai lokal seperti
yang telah diuraikan di atas, keberadaan partai Islam lokal juga menjadi payung tersendiri bagi mayarakat yang secara
populasi terdiri dari mayoritas kaum
Muslim. Aceh merupakan kawasan pontensial untuk berdirinya partai lokal Islam.
Mengapa demikian? Data BPS 2010 menyebutkan, bahwa jumlah penduduk yang
beragama Islam di provinsi yang terkenal juga
dengan sebutan "serambi mekkah" tersebut adalah 98,19% atau setara
dengan 4.413.244 jiwa dari total
penduduk berjumlah 4.494.410. Jumlah mutlak tersebut yang menjadikan Aceh
memiliki asas syariat Islam yang berbeda dari provinsi-provinsi lain dan
secara prinsipil bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, agar tidak terjadi gerakan separatis seperti yang telah ditunjukkan GAM
untuk jangka waktu tiga dekade yang
lalu, akhirnya diberikanlah gelar keistimewaan untuk Aceh sebagai salah satu provinsi
spesial daripada provinsi-provinsi yang lain. (Imam
Al-Hamdi:2013, 140)
Inilah bentuk demokrasi asimetris ala Indonesia dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demokrasi tidak
semestinya dipahami seperti teori-teori yang telah didapatkan dari bangku kuliah, bahwa syariat Islam bukanlah
demokrasi, kerajaan bukanlah demokrasi, dan lain sebagainya. Indonesia menjadi satu bukti, bahwa demokrasi selaras dengan
syariat Islam di Aceh dan model kerajaan di Yogyakarta. Justru inilah
sebenarnya yang disebut dengan demokrasi sejati, mengakui perbedaan model
demokrasi karena faktor lokalitas demi tujuan substantif demokrasi itu sendiri,
yaitu terwujudnya kesejahteraan dan keamanan
untuk rakyat sehingga keberadaan negara benar-benar dirasakan oleh
warganya. (Imam Al-Hamdi:2013, 140)
Berdasarkan penjelasan dari
bab-bab sebelumnya, berikut ini enam fakta mengenai partai Islam di Indonesia
sejak pasca kemerdekaan hingga pemilu 2009. (Imam
Al-Hamdi:2013, 147)
Masyumi Simbol Kekuatan Politik
Islam
Masyumi merupakan
partai yang dilahirkan atas gagasan bersama dari kongres umat Islam Indonesia
di Yogyakarta. Partai ini diharapkan mampu
mewakili aspirasi politik umat Islam serta dapat memperjuangkan
nilai-nilai Islam dalam panggung politik Indonesia. Semua aliran dalam Islam
menjadi anggota istimewa Masyumi, terutama Muhammadiyah dan NU. Karena itu,
Masyumi diharapkan mampu menjadi partai pemenang dalam pemilu 1955. Namun,
perolehan suara Masyumi menjadikannya berdapa pada urutan kedua setelah PNI
yang lolos menjadi partai pemenang pemilu. Jika digabung, perolehan gabungan
partai Islam adalah 44% suara atau 45% kursi di parlemen. (Imam Al-Hamdi:2013, 147)
Ini merupakan hasil
perolehan maksimal dari partai-partai Islam. Pasca pemilu 1955, partai Islam
tidak lagi mampu memperoleh suara di atas 44%. Bahkan, pada pemilu 1987, PPP
sebagai simbol partai Islam hanya mampu meraih suara 16%. Ini tidak terlepas
dari kebijakan rezim Orde Baru yang tidak membolehkan
ormas dan orpol menggunakan asas dan lambang Islam. Praktis, nilai-nilai dan
simbol Islam yang selama ini menjadi kekuatan PPP luluh lantah akibat kewajiban
menggunakan Pancasila sebagai asas partai. Pada pemilu-pemilu
selanjutnya, terutama pada pemilu 1999, partai Islam kembali bermunculan dengan beragam nama dan simbol. Banyak
partai-partai Islam di Indonesia yang menggunakan "Masyumi" sebagai
nama sekaligus lambang partai, bahkan masih ada partai yang mengaku sebagai penerus cita-cita utama partai
Masyumi. Hal ini menunjukkan, bahwa Masyumi merupakan simbol kekuatan sekaligus simbol romantisme umat Islam di
Indonesia untuk kembali mendapatkan kejayaan politik Islam. (Imam Al-Hamdi:2013, 147)
Pasca Pemilu 1995, Suara Selalu
Turun
Pemilu
di Indonesia telah terjadi sebanyak 10 kali. Dari kesepuluh pemilu tersebut,
perolehan suara partai Islam tertinggi
terjadi pada pemilu 1955. Perolehan suara terbanyak kedua terjadi pada pemilu
2004 terutama
meningkatnya suara dari PKS yang dianggap menyuarakan aspirasi kelompok Muslim
terdidik, perkotaan, dan dari kelompok kaum
muda. Selain dua pemilu ini, partai Islam tak lagi mampu meraih suara yang sangat signifikan bahkan merosot jauh
dari harapan hingga hanya mendapatkan 16% suara pemilih pada pemilu
1987. Ini cukup ironi memang, tetapi fakta sejarah telah menunjukkan demikian. (Imam Al-Hamdi:2013, 147)
Pada pemilu-pemilu
selain 1955 dan 2004, partai Islam seolah tak berdaya untuk memperjuangkan dan
meningkatkan suara pemilihnya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya
fragmentasi di kalangan partai-partai Islam
yang terbelah menjadi banyak partai sebagaimana terjadi pada pemilu 1999.
Selain itu, menurunnya suara partai Islam di era Orde Baru akibat
kebijakan rezim yang menyudutkan PPP bahkan menjadikan trauma di kalangan umat
Muslim jika ikut bergabung di PPP. Alasannya, jika umat Islam tergabung dalam PPP, maka militer akan melakukan
tindakan-tindakan kekerasan bahkan bisa mengilankan para aktivis Muslim tanpa jejak. Inilah fakta bahwa
perolehan suara partai Islam selalu turun terus. (Imam Al-Hamdi:2013, 147)
Kudeta Gus Dur: Kegagalan Politik Kaum Santri
Pada
sidang MPR RI 1999, politik poros tengah yang digagas oleh Amien Rais dkk
merupakan simbol kekuatan politik Islam di era Reformasi
dan menjadi tesis besar di kalangan pemikir Islam bahwa politik santri telah bangkit ke panggung politik Indonesia.
Keberhasilan dalam menghantarkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menuju kursi RI satu adalah hasil kerja keras
tokoh-tokoh Islam saat itu. Namun, dalam politik segalanya bisa berubah
setiap saat. Gus Dur yang pada awalnya berhasil menjadi presiden berkat strategi poros tengah Amien Rais,
dimakzulkan sebagai presiden dua tahun kemudian. Diduga, dalang di balik ini semua adalah mereka yang
awalnya mendukung Gus Dur, yaitu kelompok poros tengah dan Amien Rais menjadi salah satu tokoh kunci di balik pemakzulan
tersebut. Sekalipun Amien Rais bisa
dianggap tidak terlibat dalam hal ini, tetapi keputusan akhir ada di sidang MPR
RI dan Amien Rais saat itu adalah ketua sidangnya. Karena itu, ketua MPR RI
tentu memiliki peran yang sangat vital sama halnya ketika mernenangkan
Gus Dur sebagai presiden. (Imam Al-Hamdi:2013, 149)
Namun,
pemakzulan Gus Dur tersebut dapat dimaklumi oleh sejumlah pihak. Mengapa
demikian? Selama menjabat sebagai presiden, Gus Dur banyak mendapatkan sorotan
dan kritik dari berbagai pihak akibat kebijakan maupun ungkapannya yang selalu
menimbulkan kontroversial. Misalnya, Gus Dur menghendaki dibubarkannya DPR RI dan menganggap DPR RI sebagai Taman
Kanak-kanak (TK). Selain itu, Gus Dur
dianggap tidak bisa dikontrol oleh elite-elite partai yang dulu
memperjuangkannya sehingga Gus Dur
dianggap bermain sendiri tanpa mempertimbangkan masukan dari partai lain yang telah mendukungnya. Terlepas dari konflik di internal
partai Islam, pemakzulan Gus Dur sebagai presiden menjadi preseden dari gagalnya politik santri yang tidak
mampu bertahan lama di arena politik. Politik Islam seolah tak mampu memainkan kekuasaan dengan baik. Karena itu,
turunnya Gus Dur menjadi bukti bahwa politik santri telah gagal
memerankan dirinya di panggung politik Indonesia. (Imam
Al-Hamdi:2013, 149)
Fragmentasi Partai Islam
Setiap
pemilu sepanjang sejarah di Indonesia, partai Islam tidak bisa bergabung
menjadi satu atau dua partai. Sekalipun pernah terjadi di era Orde Baru, itu
akibat kebijakan pemerintah sehingga partai Islam difusikan menjadi satu saja,
yaitu PPP. Dari data yang didapatkan, partai Islam selalu terbelah menjadi cukup
banyak bahkan pada pemilu 1999 terbagi menjadi 19 partai Islam di antara 48
partai yang menjadi peserta pemilu. Di akar
rumput, para pemilih Islam dibingungkan dengan banyaknya partai sehingga mereka tak bisa membedakan antara partai Islam
yang satu dengan partai Islam yang lainnya, bahkan yang terjadi adalah
kaum Muslim malah memilih partai yang non-Islam tetapi jelas perjuangannya. (Imam Al-Hamdi:2013, 149)
Fragmentasi
di kalangan partai Islam memiliki dampak negatif, yaitu semakin merosotnya perolehan suara partai Islam. Kita dapat melihat sejumlah
partai Islam yang memiliki basis massa yang sama. Misalnya, basis Muhammadiyah
diperebutkan oleh partai-partai seperti PAN, PBB, sebagian juga ke PPP, dan PMB (Partai Matahari Bangsa). Di NU malah
semakin banyak partai yang memperebutkannya,
seperti PKB, PKNU, PNU, PPNUI dan lain sebagainya yang tetap menggunakan simbol
mirip dengan NU. Fragmentasi di kalangan partai Islam ini pada akhirnya menjadi
kejenuhan di basis pemilih sehingga tak salah
jika pada akhirnya para pemilih Muslim berlari pada partai nasionalis yang
perjuangannya lebih jelas. (Imam Al-Hamdi:2013, 149)
Konflik
antar Elite Partai Islam
Dampak dari adanya
fragmentasi di kalangan partai Islam adalah terjadinya konflik di kalangan
elite-elite partai Islam. Misalnya konflik
elite antara PKB dan PPP. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah mengatakan bahwa antara PKB dan PPP memang lahir
dari ay am yang sama. Hanya saja, PKB itu telornya dan PPP adalah teleknya. Pernyataan Gus Dur ini
berdampak sangat menyakitkan bagi para politisi di kalangan PPP dan di
akar rumput terjadi konflik berdarah dan berkepanjangan seperti di Jepara Jawa Tengah maupun di beberapa daerah di Jawa
Timur. (Imam Al-Hamdi:2013, 149)
Selain
itu, pasca Gus Dur diturunkan sebagai presiden, hubungan antara Gus Dur dengan
Amien Rais menjadi semakin renggang jika tak ingin dikatakan
sebagai musuh bebuyutan satu sama lain. Padahal,
pada awalnya hubungan mereka sangat baik bahkan sebelum ketika mereka masih
sama-sama memimpin NU dan Muhammadiyah,
hubungan mereka sangat harmonis untuk bersama-sama melawan rezim
Orde Baru. Namun, lagi-lagi dalam politik semuanya bisa berubah. Pasca
dimakzulkan dari jabatan presiden, Gus Dur
menganggap Amien Rais sebagai musuhnya. Konflik juga terjadi antara Gus Dur dan
dengan kubu Alwi Shihab dan juga
dengan Muhaimin Iskandar (keponakan Gus Dur). Belum lagi, konflik menimpa sejumlah elite di kalangan PKS.
Kemunculan buku Yusup Supendi yang membongkar boroknya partai dakwah ini, menjadikan konflik keras di kalangan
elitenya. Bahkan sejumlah politisi PKS menuduh
Yusup Supendi memiliki kelainan jiwa. Padahal Yusup Supendi merupakan salah
satu kader terbaik PKS dan juga salah
satu pendiri partai ini. Inilah politik, awalnya teman bisa menjadi lawan. Awalnya sahabat, akhirnya bisa menjadi penjahat
yang saling adu sikat. Dengan berbagai macam persoalan, elite-elite
Islam seolah tak bisa bersatu untuk kepentingan umat.
(Imam Al-Hamdi:2013, 149)
Munculnya Fenomena PKS
Setelah
berubah dari nama PK menjadi PKS, partai dakwah ini mampu meraih suara yang
sangat signifikan pada pemilu 2004. Pada pemilu 1999, PKS hanya
memperoleh 1,36% suara. Sedangkan pada pemilu 2004, PKS berhasil
melipatgandakan suara menjadi 7,34% alias kurang lebih enam kali lipat dari suara sebelumnya. Ini merupakan keberhasilan yang luar
biasa. Besarnya perolehan suara PKS ini mampu menyumbangkan besarnya suara partai Islam pasca Orde Baru. PKS menjadi
partai fenomenal di era Reformasi. Bahkan, pasca pemilu 2004,
sejumlah pengamat politik meramalkan PKS akan menjadi partai yang besar di Indonesia. Inilah contoh partai yang
mampu mewakili suara kelompok Islam dan berhasil menjual simbol dan asas
Islam ke hadapan publik. (Imam Al-Hamdi:2013, 159)
Besarnya
perolehan suara PKS juga sempat mencibir partai-partai Islam lain yang
sebenarnya memiliki basis pemilih yang
jauh lebih nil, misal PAN dan PKB. Ketika PKS mengalami lonjakan suara yang cukup dahsyat, partai-partai Islam yang lain malah
mengalami kemerosotan suara yang cukup drastis.
Kemerosotan suara yang sangat drastis terjadi di PKB. Pada pemilu 1999, PKB
mampu meraih 12,61% suara. Namun, pada pemilu
2004 turun dengan hanya memperoleh 10,57% suara. Pada pemilu berikutnya tahun 2009 akibat konflik berkepanjangan
antara kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur, perolehan suara PKB
semakin merosot di 4,49% suara. Penurunan suara juga terjadi di PPP. Pada
pemilu 1999 memperoleh 10,71% suara. Pada
pemilu 2004 turun menjadi 8,15% suara. Dan pada pemilu 2009 juga terus
merosot manjadi 5,32% suara. Kemerosotan suara juga terjadi di PAN sekalipun
turunnya tidak terlalu signifikan. Pada
pemilu 1999 memperoleh suara 7,12% suara. Pada pemilu 2004 turun menjadi
7,44% suara. Dan pada pemilu
2009 turun menjadi 6,01%. Disinyalir, turunnya suara di PKB, PPP, dan PAN akibat para pemilihnya berlari dan berhijrah menjadi
pendukung PKS. (Imam Al-Hamdi:2013, 150)
Menurut Deni JA, selaku direktur Lingkaran Survei Indonesia, meningkatnya
suara PKS karena partai ini mampu menjual program-program yang kongkret, bukan
sekadar getol meneriakkan syariat Islam. Hal
inilah yang mendapatkan simpatik publik (Jawa Pos, 11/4/2004). Senada
dengan itu, Todung Mulya Lubis dari Cetro
mengatakan, bahwa program-program PKS lebih menyentuh kepentingan masyarakat,
seperti anti KKN, penegakan hukum, dan anti politisi busuk. Sikap ini jelas
berbeda dengan partai lain yang cenderung
mengutamakan pembangunan kantor-kantor Cabang, sedangkan PKS berada di
garis terdepan untuk berdemo secara damai menyuarakan anti perang (Jawa Pos,
9/4/2004). (Imam Al-Hamdi:2013, 150)
Liputan tentang fenomenalnya PKS menjadi headline di Harian Kompas
(10/4/2004). Dalam laporan
tersebut diberitakan, bahwa banyaknya suara yang diperoleh karena kerja keras
para kader dan mesin partai. Mereka
memiliki jaringan yang dibangun perlahan-lahan selama lima tahun belakangan.
Jaringan itu makin lama makin besar tetapi selektif. Pola kaderisasi yang
diterapkan juga termasuk paling modern jika
dibanding dengan partai-partai yang lain. Pencitraan terhadap partai juga
berkembang dengan baik sehingga menimbulkan simpati dari masyarakat.
Misalnya, ketika ada gempa di Papua, PKS terlihat
peduli terhadap para korbannya. Massa yang memilih dan mendukung PKS adalah
massa yang membutuhkan partai yang benar-benar bekerja, bukan partai
yang menjual jargon semata. (Imam Al-Hamdi:2013, 150)
Era
reformasi merupakan era kebebasan bagi siapa saja untuk dapat mendirikan partai
politik asalkan memenuhi kualifikasi yang telah disepakati. Beragam partai telah
bermunculan, ada partai yang berbasis ideologis, ada pula partai yang berbasis
programatis maupun partai berbasis etnis keadaerahan. Namun, pasca Reformasi menandakan pula bahwa jurang
pemisah dan pembeda antar partai satu dengan partai lain semakin kabur. Saat ini, kita semakin tidak
bisa membedakan perbedaan antara PKS dan PDS maupun PDIP. Ketiga-tiganya secara legal formal memang berbeda, PKS
partai Islam, PDS partai non Islam,
dan PDIP mewakili kepentingan kelompok nasionalis. Namun, pada tataran prakteknya,
ketiga partai ini tidak mampu
membedakan dirinya dari partai yang lain. Bahkan dalam banyak kesempatan, terutama
dalam dinamika politik lokal antara PKS dan PDIP berkoalisi untuk mengusung
kandidat calon kepala daerah. Bahkan di Indonesia bagian timur, PKS pernah
berkoalisi dengan PDS untuk mengusung satu calon kepala daerah. (Imam
Al-Hamdi:2013, 150)
Fenomena ini sah-sah saja di dalam politik sejauh satu sama lain tidak
ada yang dirugikan. Namun, dalam
konteks Islam, hal ini menjadi ironi dan seolah nama agama hanya menjadi simbol
jualan dan dagangan para
politisi dari kalangan Islam. Belum lagi sejumlah perilaku elite-elite partai
Islam yang tetap berkoalisi
dengan partai penguasa (Partai Demokrat) dalam membahas Century Gate dan
kasus-kasus yang lainnya. Ini menjadi bukti bahwa partai-partai Islam
tidak mampu menyuarakan aspirasi kelompoknya
di mana NU dan Muhammadiyah sangat keras untuk menghukum semua pihak yang terlibat dalam kasus ini. Namun, PKB dan PAN tetap
tak mendengarkan suara basis massanya. Inilah yang membuat tesis Ambardi (2009)
menjadi benar, bahwa politik kartel sudah menggejala di semua partai
politik tanpa mengenal ideologi. (Imam Al-Hamdi:2013, 150)
Berdasarkan
kesimpulan umum dan fakta sejarah sebagaimana telah dijelaskan di atas, kita
tidak bisa meramalkan secara pasti apakah
partai Islam di Indonesia masih dibutuhkan atau tidak sama sekali. Namun, secara garis besar, ada beberapa catatan yang bisa
dijadikan acuan bagi partai politik Islam jika memang ingin tetap eksis keberadaannya mengingat jumlah mayoritas
penduduk Indonesia adalah Muslim dengan berbagai variannya. (Imam Al-Hamdi:2013, 151)
1.
PARTAI-PARTAI ISLAM
BERSATU. Artinya, jumlah partai Islam tidak harus tunggal, tetapi bias dua atau tiga
partai. Tujuannya agar fragmentasi partai-partai Islam tidak terlalu banyak,
sehingga sekalipun tidak
bisa satu partai Islam, setidaknya partai Islam maksimal cukup tiga saja dengan kecenderungan pada
model partai Islam modernis, partai Islam tradisionalis,
dan partai Islamis. Mengapa partai Islam kok tidak satu saja? Hal ini tidak
terlepas dari kebesaran
jumlah Islam yang varian pemeluknya sama dan agar supaya dapat menampung
aspirasi politik mereka
yang beragam. Kalau tetap dipaksakan satu partai Islam saja,
dikhawatirkan konflik tajam akan
melanda partai tersebut. Kemudian, mengapa maksimal tiga partai saja?
Hal ini untuk mengurangi konflik horizontal
sesama elite partai Islam dan mengurangi terjadinya fragmentasi dan keterpecahbelahan politik Islam yang bisa berdampak buruk dan membuat kaum Muslim menjadi trauma dengan partai Islam.
sesama elite partai Islam dan mengurangi terjadinya fragmentasi dan keterpecahbelahan politik Islam yang bisa berdampak buruk dan membuat kaum Muslim menjadi trauma dengan partai Islam.
2.
PLATFORM DAN AGENDA
PARTAI ISLAM HARUS JELAS. Kelemahan partai-partai Islam adalah tidak
jelasnya agenda politik mereka. Para politisi partai Islam lebih senang dengan
urusan kekuasaan dan lupa
terhadap tugas dan kewajiban mereka yaitu berjuang untuk pentingan umat. Karena itu, partai
Islam harus kembali mendudukan posisi mereka dan membuat agenda-agenda riil yang terkait dengan
program partai. Jika partai Islam modernis, maka prioritasnya apa. Jika partai Islam tradisionalis, maka sasaran
programnya apa. Serta jika partai Islamis, program dan sasarannya seperti apa. Selain itu, di antara partai
Islam harus membangun kesepakatan dan pembagian tugas ke mana basis massa yang harus
mereka garap masing-masing. Jika hal ini dilakukan, maka partai-partai Islam
tidak tumpang tindih dan rebutan basis pendukungnya. Selain itu,
program-program partai Islam
harus menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan kesantunan dalam bersikap.
Jika partai Islam mampu membedakan platform dirinya dari partai yang
non-Islam, maka ini keberhasilan dari partai Islam.
3.
JANGAN TERJEBAK
PADA PRAGMATISASI POLITIK. Dalam politik, apa saja bisa terjadi. Untuk merebut kekuasaan, segala strategi
dapat dilakukan. Namun, hal ini seharusnya tidak terjadi di kalangan
partai politik Islam. Di sinilah seharusnya yang menjadi pembeda antara partai
Islam dan partai non-Islam. Sebagai partai yang
memperjuangkan moralitas, partai Islam seharusnya dapat memperjuangkan
nilai-nilai dasar Islam sebagai konsekuensi penggunaan atribut dan nama Islam. Partai
Islam tidak terjebak pada pragmatisasi politik uang, politik suap, politik
balas budi, politik dagang sapi ataupun politik beli kucing dalam
karung. Politik Islam harus mengedepankan moral dan menegakkan
nilai-nilai Islam yang luhur di atas segalanya. Di sinilah, partai Islam pasti
akan mendapatkan tempat di
hati para pemilih Islam, bahkan di luar Islam sekalipun.
4.
BEKERJA NYATA UNTUK
KEPENTINGAN UMAT. Konflik di partai politik seolah sudah menjadi sebuah
keniscayaan. Namun, jika konflik dikelola dengan baik akan berdampak positif sebagai bentuk
pendewasaan partai dan kader-kadernya. Namun, partai Islam harus mampu bekerja secara riil untuk
kepentingan umat bersama. Adapun beberapa contoh dari kepentingan riil yang menyentuh umat adalah bidang pendidikan seperti
program pendidikan gratis untuk tingkat pendidikan SD dan SMP atau memperjuangkan adanya program beasiswa bagi
mahasiswa yang berprestasi maupun yang
melanjutkan studi lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Contoh lain dari program
riil adalah kesehatan. Partai Islam dapat memperjuangkan adanya Jamkesos atau
Jamkesda untuk benar-benar dapat dirasakan
oleh masyarakat umum serta perlunya asuransi kesehatan bagi seluruh
warga negara Indonesia terutama mereka yang tidak mampu dan dari kalangan
miskin. Dua agenda ini jika benar-benar diperjuangkan oleh partai Islam, maka
partai Islam akan mendapatkan simpatik dari
mayoritas masyarakat. Selain itu, agenda riil lain yang cukup penting adalah pembangunan
infrastruktur maupun pelayanan transportasi umum (udara, laut, dan darat). (Imam
Al-Hamdi:2013, 151-152)
Jika agenda-agenda di atas dapat dijalankan dengan baik, partai-partai
Islam akan mendapatkan simpati
yang luar biasa dari masyarakat. Dengan sendirinya pula, suara partai Islam
akan semakin meningkat. Namun,
sebaliknya jika partai-partai Islam tetap terfragmentasi ke banyak partai,
platform dan agenda partai
Islam tidak ada bedanya dengan partai yang lain, terjebak pada pragmatisasi
politik, tidak berjuang untuk kepentingan umat dan malah memperkaya serta
mengeruk keuntungan dari harta rakyat,
ditambah lagi para politisinya melakukan tindakan-tindakan yang amoral, seperti
melakukan tindakan korupsi
dan suap, terjerat kasus perempuan, maka kiranya kamus "politik
Islam" cukup sampai di sini
saja dan ditutup untuk kemudian ditenggelamkan dari panggung politik Indonesia.
Karena itu semua akan semakin memperburuk kesucian
Islam itu sendiri. (Imam Al-Hamdi:2013, 152)
Kesimpulan
A.
1.
System Pemilu di Indonesia
Sistem pemilu yang telah berlangsung di
Indonesia sejak 1955 hingga 2009 mengalami perubahan keadilan dan
proporsionalitas. Ini juga menunjukan, bahwa dinamika politik di Indonesia
selalu berkembang dari tahun ke tahun.
a. Close
list system adalah system di mana pemilih cukup
memilih atau mencoblos tanda gambar partai saja. Mengenai penentuan caleg ditentukan
dari masing-masing partai. Sedangkan open list system adalah sistem di
mana pemilih dapat memilih langsung caleg yang disukai untuk kemudian dipilih
atau dicoblos sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
b. Peserta
pemilu tahun 1955 ada 172 yang terdiri dari perorangan, partai politik
nasional, partai politik local, dan organisasi kemasyarakatan (no-partai
politik). Sedangkan peserta pemilu tahun 2009 ada 44 partai yang terdiri dari
38 partai nasional dan 6 partai local di aceh. Di luar dua pemilu tersebut,
peserta pemilu adalah partai nasional
2.
Partai – Partai Islam dalam Pemilu
Jumlah partai islam terbanyak terjadi
pada pemilu 1999. Hal ini tidak bias dilepaskan dalam konteks reformasi, di
mana pada era sebelumnya kekuatan politik islam dipinggirkan bahkan dianggap
oleh rezim yang berkuasa sebagai ancaman. Sebagai titik tolak, berkat
kemenangan kelompok islam, pemilu 1999 menjadi momentum bagi elite-elite partai
islam untuk menunjukan eksistensinya melalui kekuatan basis social
masing-masing. Selain itu, dari pemilu ke pemilu, jumlah partai islam selalu
berubah-ubah sesuai dengan dinamika politik yang berkembang saat itu. Di era
reformasi, prosentase partai islam semakin menurun. Perbedaan jumlah partai
islam pada setiap pemilu disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, konflik
di internal partai yang menyebabkan sebagaimana politisi islam mendirikan
partai tandingan dengan nama dan atribut yang serupa dengan partai sebelumnya
untuk menunjukan eksistensi mereka. Kedua, ketidakmampuan partainya dalam
meraih ambang batas yang telah ditentukan oleh aturan main sehingga memaksa
untuk merubah atau mefusikan partai untuk kemudian ikut kembali pada pemilu
berikutnya.
3.
Asas Partai – Partai Islam
Secara
ideologis, partai islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.
Pertama, partai islam berasas islam. Sebagaian dari kelompok ini menjelaskan
secara detail bahwa yang dimaksud dengan asas islam adalah bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, partai islam berasas pancasila. Kelompok ini
cenderung lebih nasionalis ketimbang yang lainnya. Ketiga, partai islam yang
menggabungkan asas islam dan pancasila. Dalam pandangan kelompok yang ketiga
ini, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila tidak ada pertentangan dengan prinsip-prinsip islam.
4.
Perolehan Suara Partai Islam
Setelah pemilu 1955, suara partai islam
terbanyak adalah pada pemilu 2004. Hal ini disebabkan sumbangan suara dari PKS
yang meningkat cukup tajam, disusul suara dari PPP, PKB dan PAN. Sebaliknya,
suara partai islam mengalami kemerosotan pada era Orde baru, tepatnya pada
pemilu 1987. Anjloknya suara partai islam tersebut tidak bias dipelaskan dengan
konteks politik saat itu, yaitu adanya kebijakan rezim yang tidak membolehkan
partai politik menggunakan islam sebagai asas dan symbol partai politik.
Praktis, PPP tidak bias berbuat apa-apa pada pemilu 1987. Demikian kiradinamika
partai islam dalam pemilu di Indonesia
5.
The Ruling Islamic
Party
Kemenangan mayumi pada pemilu 1995
adalah atas kekuatan kaum muslimin pada saat itu, meskipun partai NU juga
memperoleh suara yang sangat signifikan. Pada pemilu berikutnya, partai NU dan
PKB yang memiliki suara mayoritas dari kalangan Nahdhiyyin selalu meraih suara
terbanyak pada beberapa kali pemilu, kecuali pada pemilu 2009 akibat konflik
internal PKB dan PPP, PKS maupun menjadi the ruling party di antara partai
islam yang lainnya. PAN yang menjadi symbol partai nasionalis bercirikan
pemilih dari kalangan muslim modernis, terutama dari kalangan muhammadiyah,
belum mampu meraih suara terbanyak di antara partai islam yang lainnya. Padahal
amien rais merupakan tokoh sentral yang membawa perubahan Indonesia pada
memoentum 1998.
6.
Klasifikasi Kelas Partai Islam
Karena itu, analisa faith tidak berlaku
pada periode tersebut. Secara otomatis, PPP menjadi partai terbesar saat itu.
Kedua, meskipun suara PAN belum mampu mengungguli di antara semua partai-partai
islam selama era reformasi, tetapi PAN selalu masuk dalam kategori partai utama
bersama PKB dan PPP. Ketiga, meskipun PBB, PKNU, dan PBR tidak mendapatlan kursi
pada pemilu 2009, tetapi suara mereka sangat signifikan di beberapa DPRD daerah
baik tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Keempat, PK pada pemilu 1999
belum termasuk kategori partai utama, barulah pada pemilu 2004 dan 2009 PK/PKS
menjadi partai utama, bahkan menjadi partai pemenang di antara partai-partai
islam dalam pemilu 2009. Ini sebuah lonjakan yang sangat cepat.
KRITIK
DAN SARAN
A.
Kritik
Buku Partai Politik Islam pengarang Imam
Al-Hamdi tahun 2013 penerbit Graha Ilmu itu cukup baik, bisa membuka wawasan
para pembaca tentang sejarah maupun perkembangan Partai Politik Islam yang ada
di indonesia sampe pemilu 2009 dan juga banyak mengkaji tentang dinamika partai
politik islam yang terjadi di panggung perpolitikan indonesia.
Tapi buku ini hanya dapat memaparkan
teori-teori dari buku-buku atau sumber referensi lainnya, pengarang tidak
membuat teori-teorinya sendiri hanya dapat mengumpulkan teori-toeri dari
berbagai sumber, pengarang juga tidak menyimpulkan dari banyak teori-teori
tersebut.
B. Saran
Alangkah
lebih baiknya dalam buku ini pengarang dapat mengemukakan teori-teori sendiri
tidak hanya mengumpulkan teori-teori dari berbagai referensi dan pengarang juga
bisa menyimpulkan dari berbagai teori-teori tersebut.
No comments:
Post a Comment